Terjemahan

Minggu, 06 Desember 2020

SISTEM IMUN (SISTEM KEKEBALAN TUBUH)

PETA SITUS     HOME

Sistem imun atau sistem kekebalan adalah sel-sel dan banyak struktur biologis lainnya yang bertanggung jawab atas imunitas, yaitu pertahanan pada organisme untuk melindungi tubuh dari pengaruh biologis luar dengan mengenali dan membunuh patogen. Sementara itu, respons kolektif dan terkoordinasi dari sistem imun tubuh terhadap pengenalan zat asing disebut respons imun. Agar dapat berfungsi dengan baik, sistem ini akan mengidentifikasi berbagai macam pengaruh biologis luar seperti dari infeksi, bakteri, virus sampai parasit, serta menghancurkan zat-zat asing lain dan memusnahkan mereka dari sel dan jaringan organisme yang sehat agar tetap berfungsi secara normal.

Manusia dan vertebrata berahang lainnya memiliki mekanisme pertahanan yang kompleks, yang dapat dibagi menjadi sistem imun bawaan dan sistem imun adaptif. Sistem imun bawaan merupakan bentuk pertahanan awal yang melibatkan penghalang permukaan, reaksi peradangan, sistem komplemen, dan komponen seluler. Sistem imun adaptif berkembang karena diaktifkan oleh sistem imun bawaan dan memerlukan waktu untuk dapat mengerahkan respons pertahanan yang lebih kuat dan spesifik. Imunitas adaptif (atau dapatan) membentuk memori imunologis setelah respons awal terhadap patogen dan membuat perlindungan yang lebih ditingatkan pada pertemuan dengan patogen yang sama berikutnya. Proses imunitas dapatan ini menjadi dasar dari vaksinasi.

Gangguan pada sistem imun dapat berupa imunodefisiensi, penyakit autoimun, penyakit inflamasi, dan kanker. Imunodefisiensi dapat terjadi ketika sistem imun kurang aktif sehingga dapat menimbulkan infeksi berulang dan dapat mengancam jiwa. Pada manusia, imunodefisiensi dapat disebabkan karena faktor genetik seperti pada penyakit defisiensi imunitas kombinasi serta kondisi dapatan seperti sindrom defisiensi imun dapatan (AIDS) yang disebabkan oleh retrovirus HIV. Sebaliknya, penyakit autoimun menyebabkan sistem imun menjadi hiperaktif menyerang jaringan normal seakan-akan jaringan tersebut merupakan benda asing. Di satu sisi, ilmu pengetahuan pun terus berkembang dan manipulasi dalam kedokteran telah dilakukan. Penggunaan obat imunosupresif telah berhasil menekan sistem imun yang hiperaktif, dan penggunaan imunoterapi telah dilakukan untuk pengobatan kanker.

Patogen dapat berevolusi secara cepat dan mudah beradaptasi agar terhindar dari identifikasi dan penghancuran oleh sistem imun, tetapi mekanisme pertahanan tubuh juga berevolusi untuk mengenali dan menetralkan patogen. Bahkan organisme uniseluler seperti bakteri juga memiliki sistem imun sederhana dalam bentuk enzim yang melindunginya dari infeksi bakteriofag. Mekanisme imun lainnya terbentuk melalui evolusi pada eukariota kuno tetapi masih ada hingga sekarang seperti pada tumbuhan dan invertebrata.

A. SEJARAH IMUNOLOGI

Imunologi adalah ilmu yang mempelajari struktur dan fungsi sistem imun. Imunologi awalnya berasal dari ilmu mikrobiologi. Imunitas pertama kali diketahui saat terjadi wabah Athena pada 430 SM. Thukidides mencatat bahwa orang yang sembuh dari penyakit sebelumnya dapat bertahan tanpa terkena penyakit lagi. Lambat laun, diciptakan istilah "immunity" yang diturunkan dari istilah Latin "immunitas" untuk menggambarkan resistensi semacam itu. Pada abad ke-10, dokter Iran Al-Razi merupakan orang pertama yang membedakan antara cacar (smallpox) dan campak (measles) dan juga mencatat kemungkinan teori pertama tentang imunitas dapatan (acquired immunity). Pada abad ke-11, dokter dan filsuf Ibnu Sina juga mengusulkan teori lebih lanjut untuk imunitas dapatan.

Pada sekitar 1000 M, bangsa Tiongkok dilaporkan telah mempraktikkan bentuk imunisasi ini dengan menghirup bubuk kering yang berasal dari kulit lesi cacar. Pada awal abad ke-18 muncul minat baru pada imunitas dapatan melalui penggunaan variolasi sebagai tindakan pencegahan, yaitu dengan memasukkan sebagian dari lesi penderita cacar ke dalam tubuh orang yang sehat. Praktik variolasi juga makin umum dilakukan Inggris pada tahun 1720-an karena usaha Mary Wortley Montagu, istri duta besar Inggris untuk Konstantinopel (sekarang Istanbul), yang mengamati efek positifnya dan melakukannya pada anak-anaknya. Pada tahun 1798 Edward Jenner mempublikasikan hasil vaksinasinya yang pertama, menggunakan nanah dari penderita cacar sapi (cowpox) dan disuntikkan ke seorang anak bernama James Phipps.

Pengamatan imunitas dapatan berikutnya diteliti oleh Louis Pasteur pada tahun 1880 tentang vaksinasi dan pembuktian teori kuman penyakit. Teori tersebut menyatakan bahwa penyakit disebabkan oleh mikroorganisme, dan teori ini merupakan perlawanan dari teori penyakit saat itu, seperti teori miasma yang menyatakan penyakit disebabkan oleh uap atau kabut beracun yang diyakini terdiri dari partikel-partikel dari bahan pembusuk dan dapat diidentifikasi dengan baunya yang busuk. Lebih lanjut, Robert Koch membuktikan teori kuman ini pada 1891, untuk itu ia diberikan penghargaan Nobel pada 1905. Ia membuktikan bahwa mikroorganisme merupakan penyebab dari penyakit infeksi. Virus dikonfirmasi sebagai patogen manusia pada 1901 dengan penemuan virus demam kuning oleh Walter Reed.

Imunologi mengalami perkembangan luar biasa pada akhir abad ke-19 pada penelitian imunitas humoral dan imunitas diperantarai sel. Paul Ehrlich mengusulkan teori rantai samping yang menjelaskan spesifisitas interaksi antigen-antibodi. Kontribusinya dalam memahami imunitas humoral diakui dengan penghargaan Nobel pada 1908, yang bersamaan dengan penghargaan untuk pendiri imunologi seluler, Elie Metchnikoff.

B. PERLINDUNGAN BERLAPIS 

Sistem imun tubuh melindungi organisme dari infeksi dengan perlindungan berlapis yang semakin dalam semakin tinggi spesifisitasnya (kekhususannya terhadap jenis infeksi). Pelindung fisik mencegah patogen seperti bakteri dan virus memasuki tubuh. Jika patogen melewati pelindung tersebut, sistem imun bawaan menyediakan perlindungan dengan segera dalam hitungan menit hingga jam. Sistem imun bawaan ditemukan pada semua jenis tumbuhan dan hewan. Jika patogen berhasil melewati respons bawaan, vertebrata memiliki lapisan perlindungan berikutnya yaitu sistem imun adaptif yang diaktifkan oleh respons imun bawaan. Di sini, sistem imun mengadaptasi respons tersebut selama infeksi untuk meningkatkan pengenalan patogen tersebut. Respons ini lalu dipertahankan setelah patogen dimusnahkan dalam wujud memori imunologis sehingga pada kemudian hari sistem imun adaptif dapat melawan patogen yang sama dengan lebih cepat dan efektif.

Sistem imun bawaan dan sistem imun adaptif keduanya memiliki komponen seluler dan humoral, dan masing-masing memberikan imunitas diperantarai sel dan imunitas humoral. Imunitas diperantarai sel diperankan oleh sel-sel imun seperti neutrofil, makrofag, sel NK, dan limfosit, sedangkan imunitas humoral diperankan oleh komponen terlarut seperti antibodi dan protein komplemen. Antibodi adalah protein yang merupakan produk dari sel B yang teraktivasi yang berperan dalam menetralkan patogen dan menginisiasi proses imunologi yang lain seperti pengaktifan sistem komplemen, pengaktifan pembunuhan sel NK, sel T sitotoksik, dan sel-sel efektor lainnya.

Komponen sistem imun
Sistem imun bawaanSistem imun adaptif
Respons tidak spesifikRespons spesifik patogen dan antigen
Paparan menyebabkan respons maksimal segeraPerlambatan waktu antara paparan dan respons maksimal
Komponen imunitas diperantarai sel dan imunitas humoralKomponen imunitas diperantarai sel dan imunitas humoral
Tidak ada memori imunologisPaparan menyebabkan adanya memori imunologis
Ditemukan hampir pada semua bentuk kehidupanHanya ditemukan pada vertebrata berahang

Baik imunitas bawaan dan adaptif bergantung pada kemampuan sistem imun untuk membedakan molekul self dan non-self. Dalam imunologi, molekul self adalah komponen tubuh organisme yang dapat dibedakan dari bahan asing oleh sistem imun. Sebaliknya, molekul non-self adalah yang dianggap sebagai molekul asing. Satu kelas dari molekul non-self adalah antigen (kependekan dari bahasa Inggris antibody generator atau "pembangkit antibodi") yaitu bahan-bahan yang mengikat reseptor imun tertentu dan membangkitkan respons imun.

Bayi yang baru lahir mendapat beberapa lapisan perlindungan pasif yang disediakan oleh ibu. Selama kehamilan, jenis antibodi yang disebut IgG yang dikirim dari ibu ke bayi secara langsung melewati plasenta, sehingga bayi memiliki antibodi tinggi bahkan saat lahir, dengan rentang spesifisitas antigen (fragmen kecil patogen) yang sama dengan ibunya. Air susu ibu atau kolostrum juga mengandung antibodi yang dikirim ke sistem pencernaan bayi dan melindungi bayi terhadap infeksi bakteri sampai bayi dapat menyintesis antibodinya sendiri. Hal ini disebut imunitas pasif karena fetus tidak membuat sel memori atau antibodi sendiri. Pada ilmu kedokteran, imunitas pasif protektif juga dapat dikirim dari satu individu ke individu lainnya melalui serum yang kaya antibodi.

C. SISTEM IMUN BAWAAN

Mikroorganisme atau racun yang berhasil memasuki organisme akan berhadapan dengan mekanisme sistem imun bawaan. Respons bawaan biasanya dijalankan ketika mikrob teridentifikasi oleh reseptor pengenal pola (pattern recognition receptor, PRR) yang mengenali komponen yang disebut pola molekuler terkait patogen (pathogen-associated molecular pattern, PAMP), atau pola molekuler terkait kerusakan (damage-associated molecular pattern, DAMP). Sistem ini tidak memberikan perlindungan yang bertahan lama terhadap serangan patogen, sehingga diperlukan sistem imun lain yaitu sistem imun adaptif. Sistem imun bawaan merupakan sistem dominan pertahanan tubuh pada kebanyakan organisme.

C.1. PENGHALANG PERMUKAAN

 Beberapa penghalang melindungi organisme dari infeksi, termasuk penghalang mekanis, kimiawi, dan biologis. Contoh penghalang mekanis yaitu kulit ari tanaman pada daun, eksoskeleton serangga, kulit telur dan membran bagian luar dari telur, serta kulit yang merupakan pertahanan awal terhadap infeksi. Namun, karena organisme tidak dapat sepenuhnya tertutup sempurna dari lingkungan, sistem lainnya diperlukan untuk melindungi tubuh pada bagian seperti paru-paru, usus, dan saluran urogenital. Pada paru-paru, batuk dan bersin secara mekanis mengeluarkan patogen dan iritan lainnya dari saluran pernapasan. Pengeluaran air mata dan urin juga secara mekanis mengeluarkan patogen, sementara ingus dikeluarkan oleh saluran pernapasan dan saluran pencernaan untuk menangkap mikroorganisme.

Penghalang kimiawi juga melindungi tubuh terhadap infeksi. Kulit dan sistem pernapasan mengeluarkan peptida antimikrobial seperti β-defensin. Enzim seperti lisozim dan fosfolipase A2 pada air liur, air mata, dan air susu ibu juga bersifat antibakteri. Sekresi vagina berperan sebagai penghalang kimiawi selama menstruasi pertama, membuat lingkungan vagina agak bersifat asam, sementara semen mengandung defensin dan seng untuk membunuh patogen. Pada lambung, asam lambung dan protease menyediakan pertahanan kimiawi yang sangat kuat untuk melawan patogen yang tertelan.

Flora komensal dalam saluran pencernaan dan saluran urogenital merupakan penghalang biologi yang bersaing dengan patogen untuk makanan dan tempat. Selain itu, flora komensal kadang mengubah kondisi lingkungan mereka seperti pH atau ketersediaan zat besi. Hal ini menyebabkan adanya hubungan simbiosis antara flora komensal dan sistem imun, hingga mengurangi jumlah patogen dan kemungkinan munculnya penyakit. Namun, karena kebanyakan antibiotik menyasar bakteri dan tidak menyerang fungi, antibiotik oral dapat mengakibatkan "pertumbuhan berlebih" dari fungi dan dapat memicu kondisi seperti kandiasis vagina (infeksi jamur pada vagina). Terdapat bukti kuat bahwa konsumsi flora probiotik, seperti kultur murni lactobacillus (umum ditemukan pada yogurt yang belum dipasteurisasi), membantu mengembalikan keseimbangan komposisi mikrob pada usus anak-anak yang terkena infeksi. Hasil penelitian awal juga menunjukkan hal yang serupa dalam kasus gastroenteritis bakterial, radang usus, infeksi saluran kemih, dan infeksi setelah operasi.

C.2. PERADANGAN

Peradangan merupakan salah satu dari respons pertama sistem imun terhadap infeksi. Gejala peradangan yaitu kemerahan, bengkak, dan nyeri yang diakibatkan oleh peningkatan aliran darah ke jaringan. Peradangan dihasilkan oleh senyawa-senyawa eikosanoid dan molekul sitokin, yang dilepaskan oleh sel yang terinfeksi. Senyawa-senyawa eikosanoid, termasuk prostaglandin, menginduksi demam dan pelebaran pembuluh darah, dan leukotrien yang menarik sel darah putih (leukosit). Sitokin juga terlibat, termasuk interleukin yang bertanggung jawab untuk komunikasi antarsel darah putih; kemokin yang mendorong kemotaksis; dan interferon yang memiliki kemampuan antivirus, seperti menghentikan sintesis protein virus yang sedang menginfeksi sel inang. Faktor pertumbuhan dan faktor sitotoksik juga dapat dilepaskan. Sitokin dan senyawa kimia lainnya mengerahkan sel-sel imun ke tempat infeksi dan menyembuhkan jaringan yang mengalami kerusakan yang diikuti dengan pemusnahan patogen.

C.3. SISTEM KOMPLEMEN 

Sistem komplemen merupakan kaskade biokimia (rangkaian reaksi berurutan) yang akhirnya menyerang permukaan sel asing. Sistem komplemen terdiri dari lebih dari 20 protein yang berbeda. Sistem ini dinamakan komplemen ("sesuatu yang melengkapi") karena pertama kali kemampuannya dikenali untuk "melengkapi" pembunuhan patogen oleh antibodi. Komplemen merupakan komponen humoral utama dari respons imun bawaan. Banyak spesies memiliki sistem komplemen, termasuk spesies bukan mamalia seperti tumbuhan, ikan, dan beberapa invertebrata.

Pada manusia, respons ini diaktifkan oleh protein komplemen yang terikat ke antibodi yang menempel pada mikrob tersebut atau protein komplemen yang terikat dengan karbohidrat di permukaan mikrob. Sinyal pengenalan ini memicu respons pembunuhan yang cepat. Kecepatan respons ini merupakan hasil dari penguatan yang muncul setelah pengaktifan proteolisis (pemecahan) dari molekul komplemen, yang juga merupakan protease. Setelah protein komplemen terikat pada mikrob, protein-protein ini mengaktifkan aktivitas proteasenya, yang kemudian mengaktifkan protease komplemen lainnya, dan seterusnya. Hasilnya adalah kaskade katalisis yang memperkuat sinyal awal melalui umpan balik positif teratur. Hasil kaskade ini adalah peptida-peptida yang menarik sel-sel imun, meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, dan membungkus permukaan patogen (opsonisasi) sehingga menandainya untuk dihancurkan. Protein komplemen yang berkumpul ini juga dapat membunuh sel secara langsung dengan cara merusak membran plasma sel patogen.

C.4. KOMPONEN SELULER

Leukosit (sel darah putih) bertindak layaknya organisme bersel tunggal yang bebas dan merupakan pertahanan penting dalam sistem imun bawaan. Jenis-jenis leukosit dalam sistem imun bawaan di antaranya fagosit (makrofag, neutrofil, dan sel dendritik), sel limfoid bawaan, sel mast, eosinofil, basofil, dan sel NK. Sel-sel tersebut mengidentifikasi dan menghilangkan patogen dengan cara menyerang patogen yang lebih besar melalui kontak atau dengan cara menelan dan lalu membunuh mikroorganisme. Sel-sel pada imunitas bawaan juga merupakan mediator penting pada pengaktifan sistem imun adaptif.

Makrofag, neutrofil, dan sel dendritik merupakan kelas sel sensor yang mendeteksi dan menginisiasi respons imun dengan menghasilkan mediator inflamasi. Sel-sel ini mengekspresikan sejumlah reseptor terbatas untuk mengenali patogen atau sel yang rusak, bernama PRR. Beberapa PRR merupakan reseptor transmembran (reseptor pada permukaan sel), seperti reseptor jenis Toll (Toll-like receptor, TLR) yang dapat mendeteksi struktur pola molekuler terkait patogen (pathogen-associated molecular pattern, PAMP) yang dihasilkan oleh bakteri ekstraseluler atau bakteri yang ditangkap dan mengalami fagositosis. PRR lainnya merupakan protein sitoplasmik (berada di sitoplasma) misalnya reseptor jenis NOD (NOD-like receptor, NLR) yang dapat mendeteksi serangan bakteri intraseluler.

C.4.1. FAGOSIT

Fagositosis adalah sifat penting pada imunitas bawaan yang dilakukan oleh sel fagosit, yaitu sel yang menelan patogen atau partikel. Fagosit biasanya berpatroli di seluruh tubuh mencari patogen, tetapi dapat dipanggil ke lokasi spesifik oleh sitokin. Ketika patogen ditelan oleh fagosit, patogen terperangkap di vesikel intraseluler yang disebut fagosom, yang sesudah itu menyatu dengan vesikel lainnya disebut lisosom untuk membentuk fagolisosom. Patogen dibunuh oleh aktivitas enzim pencernaan atau ledakan pernapasan (respiratory burst) yang mengeluarkan molekul radikal bebas ke fagolisosom. Secara evolusi, fungsi asal fagositosis adalah untuk memperoleh nutrisi, tetapi peran ini diperluas sehingga fagosit juga berfungsi menelan patogen sebagai mekanisme pertahanan. Fagositosis mungkin mewakili bentuk pertahanan tertua, karena fagosit telah diidentifikasikan ada pada vertebrata dan invertebrata.

Neutrofil dan monosit merupakan fagosit utama yang berkeliling di seluruh tubuh untuk mengejar dan menyerang patogen. Neutrofil ditemukan di aliran darah dan merupakan jenis fagosit yang paling melimpah, normalnya sebanyak 50% sampai 60% jumlah leukosit yang bersirkulasi. Selama radang fase akut, terutama karena infeksi bakteri, neutrofil bermigrasi ke tempat radang dalam sebuah proses yang disebut kemotaksis, dan merupakan sel pertama yang tiba pada saat infeksi.

Makrofag merupakan sel serba guna yang bermukim pada jaringan dan menghasilkan banyak zat-zat kimia termasuk enzim, protein komplemen, dan sitokin. Makrofag juga bertindak sebagai "sel pemakan" yang membersihkan tubuh dari sel mati dan debris (pecahan komponen sel) lainnya, dan sebagai sel penyaji antigen yang mengaktifkan sistem imun adaptif.

C.4.2. SEL DENDRITIK

Sel dendritik adalah fagosit pada jaringan yang berhubungan dengan lingkungan luar; oleh karena itu, sel-sel ini terutama berada di kulit, hidung, paru-paru, lambung, dan usus. Mereka dinamai demikian karena kemiripannya dengan dendrit saraf, keduanya memiliki proyeksi seperti paku, tetapi sel dendritik tidak ada hubungan dengan sistem saraf. Sel dendritik menyediakan hubungan antara sistem imun adaptif dan bawaan, dengan cara menyajikan antigen kepada sel T.

C.4.3. SEL PEMBUNUH ALAMI

Sel pembunuh alami (Inggris: Natural Killer, NK) merupakan komponen sistem imun bawaan yang tidak secara langsung menyerang mikrob penyerang. Sebaliknya, sel-sel NK menghancurkan sel-sel inang yang terinfeksi atau sel yang bertransformasi. Sel-sel demikian dinamakan "missing self" ("kehilangan pengenalan diri") dikarenakan sel memiliki penanda permukaan sel (disebut MHC I) yang sangat rendah. Sel NK dinamai "pembunuh alami" karena gagasan awal bahwa mereka tidak memerlukan pengaktifan untuk membunuh sel-sel yang "missing self." Sel-sel tubuh normal tidak dikenali dan tidak diserang oleh sel-sel NK karena mereka mengekspresikan antigen MHC diri yang utuh. Kompleks antigen diri MHC itu dikenali oleh reseptor imunoglobulin sel pembunuh (KIR) yang menahan aktivitas sel NK.

C.4.4. SEL MAST

Sel mast terletak di jaringan penghubung dan membran mukosa, berfungsi untuk mengatur respons peradangan. Mereka berkaitan dengan alergi dan anafilaksis.

C.4.5. GRANULOSIT

Basofil dan eosinofil memiliki kesamaan dengan neutrofil dalam hal adanya banyak granul di sitoplasmanya. Mereka menyekresikan bahan kimia yang ikut serta melindungi tubuh terhadap parasit dan memainkan peran pada reaksi alergi, seperti asma.

C.4.6. SEL LIMFOID BAWAAN

Sel limfoid bawaan (Inggris: innate lymphoid cell, ILC) adalah sekelompok sel imun bawaan yang termasuk dalam garis keturunan limfoid, tetapi tidak memiliki reseptor sel B atau reseptor sel T spesifik antigen. ILC juga tidak mengekspresikan penanda sel myeloid atau dendritik. Kelompok sel ini memiliki fungsi fisiologis yang bervariasi; beberapa fungsi dianalogikan dengan sel T pembantu, sementara kelompok ini juga termasuk sel NK sitotoksik. Oleh karena itu, mereka memiliki peran penting dalam kekebalan protektif dan pengaturan homeostasis dan peradangan, sehingga kelainan pada ILC dapat menyebabkan gangguan sistem imun seperti alergi, asma bronkial, dan penyakit autoimun.

D. SISTEM IMUN ADAPTIF

Sistem imun adaptif berevolusi pada vertebrata awal dan membuat adanya respons imun yang lebih kuat serta terbentuknya memori imunologi, yaitu tiap patogen "diingat" oleh pengenal antigen. Respons imun adaptif bersifat spesifik terhadap antigen tertentu dan membutuhkan pengenalan antigen non-self tertentu selama proses yang disebut presentasi antigen. Spesifisitas antigen memungkinkan produksi respons yang disesuaikan pada patogen tertentu atau sel tertentu yang terinfeksi patogen. Kemampuan tersebut dipelihara di tubuh oleh "sel memori". Sel-sel memori ini akan segera memusnahkan dengan cepat patogen-patogen yang menginfeksi sel kembali di kemudian hari.

D.1. IMUNITAS DIPERANTAI SEL

Komponen sel utama pada sistem imun adaptif yaitu jenis leukosit khusus yang disebut limfosit. Limfosit T (sel T) dan limfosit B (sel B) merupakan jenis limfosit utama yang berasal dari sel punca hematopoietik pada sumsum tulang. Sel T terlibat dalam respons imun diperantarai sel, sedangkan sel B terlibat dalam respons imun humoral. Baik sel T dan sel B memiliki reseptor yang mengenali target spesifik. Sel T mengenali target non-self seperti patogen, tetapi hanya jika antigen telah diolah dan disajikan pada molekul kompleks histokompatibilitas utama (bahasa Inggris: major histocompatibility complex, disingkat MHC). Sementara itu, reseptor antigen pada sel B, yang merupakan suatu molekul antibodi pada permukaan, dapat mengenali semua patogen tanpa perlu adanya pengolahan antigen. Tiap garis keturunan sel B memiliki antibodi yang berbeda, sehingga kumpulan reseptor antigen sel B yang lengkap mewakili semua antibodi yang dapat diproduksi oleh tubuh.

Awalnya, subtipe sel T dibagi menjadi dua yaitu sel T sitotoksik (sel T pembunuh) dan sel T pembantu. Namun seiring pesatnya penelitian imunologi pada dekade terakhir, banyak ditemukan jenis lain dari limfosit misalnya sel T gamma delta (sel T γδ). Sel T sitotoksik hanya mengenali antigen yang dirangkaikan pada molekul MHC kelas I, sementara sel T pembantu hanya mengenali antigen yang dirangkaikan pada molekul MHC kelas II. Dua mekanisme presentasi antigen tersebut memunculkan peran berbeda dua tipe sel T. Jenis lain sel T yang termasuk subtipe minor yaitu sel T γδ, yang mengenali antigen yang tidak melekat pada molekul MHC.

D.1.1. SEL T SITOTOKSIK 

Sel T sitotoksik (Inggris: cytotoxic T lymphocyte, CTL) atau sel T pembunuh merupakan subkelompok dari sel T yang membunuh sel yang terinfeksi virus (dan patogen lainnya), sel-sel yang rusak, atau sel yang tidak berfungsi dengan baik. Sel T sitotoksik diaktifkan ketika reseptor sel T melekat pada antigen spesifik ini dalam sebuah kompleks dengan reseptor MHC kelas I dari sel lainnya. Pengenalan MHC: antigen ini dibantu oleh koreseptor pada sel T yang disebut CD8. Sel T lalu berkeliling ke seluruh tubuh untuk mencari sel yang menyajikan antigen ini pada molekul MHC kelas I. Ketika sel T yang aktif berikatan dengan sel yang demikian, sel T melepaskan protein sitotoksik (seperti perforin) yang dapat membentuk pori pada membran plasma target, membuat ion, air, dan toksin masuk ke dalamnya. Hal ini menyebabkan sel mengalami apoptosis. Sel T sitotoksik penting untuk mencegah replikasi virus. Pengaktifan sel T membutuhkan sinyal pengaktifan antigen/MHC yang sangat kuat dan sinyal pengaktifan tambahan yang disediakan oleh sel T pembantu.

D.1.2. SEL T PEMBANTU

Sel T pembantu (Inggris: T helper cell, Th) mengatur respons imun bawaan dan respons imun adaptif, serta membantu menentukan jenis respons imun pada patogen khusus. Sel tersebut tidak memiliki aktivitas sitotoksik dan tidak membunuh sel yang terinfeksi atau membersihkan patogen secara langsung, tetapi mereka mengontrol respons imun dengan mengarahkan sel lain untuk melakukan tugas tersebut.

Sel T pembantu mengekspresikan reseptor sel T yang mengenali antigen terikat pada molekul MHC kelas II. MHC:antigen juga dikenali oleh protein CD4 yang penting dalam pengaktifan sel T. Sel T pembantu memiliki ikatan yang lebih lemah dengan MHC: antigen daripada sel T sitotoksik, sehingga pengaktifannya memerlukan lebih banyak ikatan (sekitar 200-300), sementara sel T sitotoksik dapat diaktifkan dengan satu ikatan molekul MHC:antigen dengan reseptor. Pengaktifan sel T pembantu juga membutuhkan durasi pengikatan lebih lama dengan sel yang memiliki antigen. Sel T pembantu yang telah aktif selanjutnya menyekresikan sitokin yang memengaruhi aktivitas banyak jenis sel. Sinyal sitokin yang dihasilkan oleh sel T pembantu memperbesar fungsi mikrobisidal dari makrofag dan aktivitas sel T sitotoksik. Selain itu, pengaktifan sel T pembantu menyebabkan peningkatan molekul yang diekspresikan pada permukaan sel T, seperti CD40 (juga dikenal sebagai CD154), yang menyediakan sinyal stimulasi tambahan yang dibutuhkan untuk mengaktifkan sel B menjadi sel plasma.

D.1.3. SEL T GAMMA DELTA

Sel T gamma delta (sel T γδ) memiliki reseptor sel T alternatif yang berbeda dengan sel T CD4+ dan CD8+ (αβ), serta memiliki ciri yang mirip dengan sel T pembantu, sel T sitotoksik, dan sel NK, sehingga berada pada perbatasan antara sistem imun adaptif dan sistem imun bawaan. Di satu sisi, sel T γδ merupakan komponen dari sistem imun adaptif karena gen reseptor sel T menjalani penataan ulang dan menghasilan diversitas reseptor serta dapat mengembangkan memori. Di sisi lain, beberapa bagian sel ini merupakan komponen sistem imun bawaan karena reseptor sel T atau reseptor NK yang dimilikinya dapat digunakan sebagai PRR. Contohnya sejumlah besar sel T Vγ9/Vδ2 berespons dalam hitungan jam terhadap molekul umum yang diproduksi oleh mikrob, dan jenis sel T Vδ1+ yang khusus hanya ada di epitelium, merespons terhadap sel epitelial yang rusak.

D.2. IMUNITAS HUMORAL

Pada sistem imun adaptif, peran utama imunitas humoral dijalankan oleh antibodi yang dihasilkan oleh sel B. Sel B mengidentifikasi patogen ketika antibodi yang terikat pada permukaan sel B berikatan dengan antigen asing spesifik. Kompleks antigen:antibodi ini ditelan oleh sel B kemudian antigen dipecah menjadi potongan peptida (proteolisis). Selanjutnya sel B menyajikan peptida antigenik pada permukaan molekul MHC kelas II. Kompleks MHC dan antigen ini menarik sel T pembantu yang memiliki kesesuaian dengan antigen, yang selanjutnya melepaskan sitokin dan mengaktifkan sel B. Sel B yang aktif berikutnya berdiferensiasi menjadi sel plasma yang mengeluarkan jutaan antibodi yang mengenali antigen itu. Antibodi tersebut diedarkan pada plasma darah dan limfatik, mengikat patogen dan menandainya untuk dihancurkan oleh pengaktifan komplemen, atau untuk penghancuran oleh fagosit. Antibodi juga dapat menetralkan toksin bakteri atau dengan mengganggu reseptor yang digunakan virus dan bakteri untuk menginfeksi sel.

E. REGULASI FISIOLOGIS 

Sistem imun terlibat dalam banyak aspek regulasi fisiologis dalam tubuh. Sistem imun berinteraksi secara intensif dengan sistem lain, seperti sistem endokrin dan saraf. Sistem imun tubuh juga memainkan peran penting dalam perkembangan serta dalam perbaikan jaringan dan regenerasi.

E.1. HORMON

Hormon dapat bertindak sebagai imunomodulator, yaitu mengubah sensitivitas sistem imun. Sebagai contoh, hormon seks wanita diketahui menstimulasi baik respons imun adaptif  dan respons imun bawaan. Beberapa penyakit autoimun seperti lupus erythematosus sering menyerang wanita, dan mulainya serangan sering dengan pubertas. Sebaliknya, hormon seks pria seperti testosteron tampak menekan sistem imun.

E.2. VITAMIN D

Saat suatu sel T menjumpai patogen asing, pada beberapa kasus melibatkan reseptor vitamin D. Hal ini pada dasarnya merupakan alat pensinyalan yang memungkinkan sel T untuk berikatan dengan bentuk aktif vitamin D, suatu hormon steroid kalsitriol. Di sisi lain, sel T mengekspresikan CYP27B1, suatu enzim yang bertanggung jawab mengubah versi pra-hormon vitamin D, kalsidiol, menjadi versi hormon steroid, kalsitriol. Setelah mengikat dengan kalsitriol, sel T dapat melakukan fungsi yang diinginkan. Sel-sel sistem imun lainnya seperti sel dendritik, keratinosit, dan makrofag dikenal mengekspresikan CYP27B1 dan dengan demikian dapat mengaktifkan vitamin D kalsidiol.

Diperkirakan bahwa penurunan progresif kadar hormon seiring bertambahnya usia juga menjadi salah satu faktor yang mengakibatkan pelemahan respons imun pada individu yang menua. Penurunan fungsi kekebalan yang sehubungan dengan usia juga terkait dengan penurunan kadar vitamin D pada lansia. Seiring bertambahnya usia, ada dua hal yang secara negatif memengaruhi kadar vitamin D mereka. Pertama, mereka yang tinggal di dalam rumah akan lebih menurun tingkat aktivitasnya. Mereka mendapat lebih sedikit sinar matahari dan karenanya menghasilkan lebih sedikit kolekalsiferol melalui radiasi ultraungu B. Kedua, seiring bertambahnya usia, kulit menjadi berkurang kemampuannya memproduksi vitamin D.

E.3. TIDUR DAN ISTIRAHAT

Sistem imun bertambah dengan tidur dan beristirahat, sebaliknya kurang tidur dapat merusak fungsi kekebalan tubuh. Putaran umpan balik melibatkan sitokin seperti interleukin-1 dan TNF alfa yang diproduksi sebagai respons terhadap infeksi, tampaknya juga berperan dalam pengaturan tidur non-REM (non-rapid eye movement). Dengan demikian respons imun terhadap infeksi dapat menyebabkan perubahan pada siklus tidur, termasuk peningkatan tidur gelombang lambat relatif terhadap tidur REM.

E.4. NUTRISI DAN DIET

Kelebihan gizi dikaitkan dengan penyakit seperti diabetes dan obesitas, yang diketahui memengaruhi fungsi kekebalan tubuh. Malnutrisi yang lebih sedang, serta defisiensi mineral dan nutrisi tertentu, juga dapat membahayakan respons imun. Demikian juga, kekurangan gizi pada janin dapat menyebabkan kerusakan sistem kekebalan seumur hidup.

E.5. PERBAIKAN DAN REGENERASI

Sistem imun tubuh, khususnya sistem imun bawaan, memainkan peran yang menentukan dalam perbaikan jaringan setelah cedera. Komponen kunci termasuk makrofag dan neutrofil, juga komponen seluler lainnya termasuk sel T γδ, sel limfoid bawaan (ILC), dan sel T regulator (Treg). Makrofag memainkan peran dominan dalam pemulihan homeostasis jaringan dengan membersihkan pecahan komponen seluler (debris sel), renovasi matriks ekstraseluler (extracellular matrix, ECM), dan penyintesisan berbagai sitokin dan faktor pertumbuhan. Dalam konteks penyembuhan jaringan, sel T γδ epitel dendritik (dendritic epithelial γδT cell, DETC) merupakan bagian sel yang sudah dikarakterisasi dengan baik. DETC memiliki morfologi seperti sel dendritik pada kulit tikus, dan mereka merespons dalam beberapa jam terhadap kerusakan jaringan kulit dengan mengeluarkan kemokin dan TNF-α untuk menarik makrofag. Selain itu, DETC mempercepat perbaikan jaringan dengan mensekresi faktor pertumbuhan dan sitokin seperti IGF-1, KGF-1 (FGF-7), KGF-2 (FGF-10), IL-22, dan IL-17A. Plastisitas sel-sel imun dan keseimbangan antara sinyal pro-inflamasi dan anti-inflamasi merupakan aspek penting dari perbaikan jaringan yang efisien.

F. GANGGUAN PADA IMUNITAS

Sistem imun merupakan struktur yang luar biasa efektif dalam hal spesifisitas, indusibilitas, dan adaptasi. Namun, kegagalan pertahanan bisa juga terjadi dan dibagi menjadi tiga kelompok besar: imunodefisiensi, autoimunitas, dan hipersensitivitas.

F.1. IMUNODEFISIENSI

Imunodefisiensi terjadi ketika satu atau lebih komponen sistem imun tidak aktif. Kemampuan sistem imun untuk merespons patogen berkurang pada anak-anak dan orang tua, pada kasus orang tua disebabkan oleh imunosenesens. Di negara-negara berkembang, penyebab melemahnya sistem imun yaitu obesitas, penyalahgunaan alkohol, dan penggunaan obat.  Namun, malnutrisi adalah penyebab paling umum yang menyebabkan imunodefisiensi di negara berkembang. Diet dengan protein yang tidak mencukupi dikaitkan dengan gangguan imunitas seluler, aktivitas komplemen, fungsi fagosit, konsentrasi antibodi IgA, dan produksi sitokin. Selain itu, ketiadaan timus pada usia dini melalui mutasi genetik atau pengangkatan melalui operasi mengakibatkan imunodefisiensi yang parah dan kerentanan tinggi terhadap infeksi.

Imunodefisiensi juga bisa muncul akibat faktor turunan atau perolehan (didapat). Penyakit granuloma kronis, yaitu penyakit dengan rendahnya kemampuan fagosit untuk menghancurkan patogen, adalah contoh dari imunodefisiensi turunan. Sementara itu, AIDS dan beberapa jenis kanker merupakan contoh imunodefisiensi dapatan.

F.2. AUTOIMUNITAS

Autoimunitas adalah respons imun terlalu aktif termasuk fungsi imun yang tidak berfungsi baik sehingga berakhir pada gangguan autoimun. Sistem imun tidak mampu membedakan dengan tepat antara self dan non-self, sehingga dapat menyerang bagian dari tubuh. Pada keadaan kondisi yang normal, banyak sel T dan antibodi bereaksi dengan peptida self. Terdapat sel khusus (terletak di timus dan sumsum tulang) yang menyajikan limfosit muda dengan antigen self yang dihasilkan pada tubuh dan untuk membunuh sel yang dianggap antigen self, akhirnya mencegah autoimunitas. Beberapa contoh penyakit autoimun yaitu artritis rematoid, diabetes melitus tipe 1, penyakit Hashimoto, dan lupus eritematosus sistemik.

F.3. HIPERSENSITIVITAS 

Hipersensitivitas adalah respons imun yang berlebihan yang dapat merusak jaringan tubuh sendiri. Hipersensitivitas terbagi menjadi empat kelas (Tipe I – IV) berdasarkan mekanisme yang ikut serta dan lama waktu reaksi hipersensitif. Hipersensitivitas tipe I atau reaksi segera atau reaksi anafilaksis sering dikaitkan dengan alergi. Gejala dapat bervariasi dari ketidaknyamanan sampai kematian. Hipersensitivitas tipe I diperantarai oleh IgE, yang memicu degranulasi sel mast dan basofil saat IgE berikatan silang dengan antigen. Hipersensitivitas tipe II terjadi saat antibodi mengikat antigen sel inang dan menandai mereka untuk penghancuran. Jenis ini juga disebut hipersensitivitas sitotoksik, dan diperantarai oleh antibodi IgG dan IgM. Kompleks imun (kompleks antara antigen, protein komplemen dan antibodi IgG dan IgM) terkumpul pada berbagai jaringan yang memicu reaksi hipersensitivitas tipe III. Hipersensitivitas tipe IV (dikenal juga sebagai hipersensitivitas diperantarai sel atau hipersensitivitas jenis tertunda) biasanya membutuhkan waktu antara dua sampai tiga hari untuk berkembang. Reaksi tipe IV ikut serta dalam berbagai penyakit autoimun dan penyakit infeksi, tetapi juga dalam ikut serta dalam dermatitis kontak (misalnya disebabkan oleh racun tumbuhan jelatang). Reaksi tersebut diperantarai oleh sel T, monosit, dan makrofag.

G. MANIPULASI PADA KEDOKTERAN

Respons imun dapat dimanipulasi untuk menekan respons yang tidak diinginkan akibat autoimunitas, alergi, atau penolakan transplantasi. Manipulasi juga dapat dilakukan untuk merangsang respons perlindungan terhadap patogen yang sebagian besar menghindari sistem imun (lihat imunisasi) atau kanker.

G.1. OBAT IMUNOSUPRESIF

Obat imunosupresif digunakan untuk mengontrol gangguan autoimun atau inflamasi ketika terjadi kerusakan jaringan yang berlebihan, dan untuk mencegah penolakan transplantasi setelah transplantasi organ.

Obat anti-inflamasi sering digunakan untuk mengontrol pengaruh peradangan. Glukokortikoid merupakan obat anti-inflamasi yang paling kuat, tetapi obat tersebut memiliki banyak efek samping seperti obesitas pusat, hiperglikemia, dan osteoporosis sehingga penggunaan obat tersebut harus diawasi dengan baik. Obat anti-inflamasi dosis rendah sering digunakan bersamaan dengan obat sitotoksik atau obat imunosupresif seperti metotreksat atau azatioprin. Obat sitotoksik menghambat respons imun dengan membunuh sel yang membelah dengan cepat seperti sel T yang teraktivasi. Namun, pembunuhan sel dilakukan sembarangan sehingga sel-sel membelah dengan cepat lainnya, serta organ-organ lain pun terpengaruh, yang dapat menyebabkan efek samping berbahaya. Obat imunosupresif seperti siklosporin mencegah sel T dari merespons sinyal dengan menghalangi transduksi sinyal.

G.2. IMUNOSTIMULAN

Pada pengobatan tradisional, beberapa obat-obatan tradisional dipercaya dapat menstimulasi imunitas, seperti ekinasea, akar manis, ginseng, astragalus, saga, bawang putih, sangitan, jamur shiitake, jamur lingzhi, hisop, dan madu. Penelitian telah menunjukan bahwa bahan-bahan tersebut dapat menstimulasi sistem imun, walaupun cara kerja mereka belum sepenuhnya dimengerti.

G.3. IMUNOMODULASI (Memodulasi Sistem Imun)

Imunomodulasi adalah modulasi (pengaturan-pengaturan) dari sistem kekebalan.  Itu memiliki bentuk alami dan buatan manusia, dan dengan demikian kata tersebut dapat merujuk pada yang berikut :

  • Homeostasis dalam sistem kekebalan, di mana sistem mengatur sendiri seperti punya kecerdasan (self-regulation automatically) untuk menyesuaikan respons imun ke tingkat adaptif daripada maladaptif (menggunakan sel T pengatur, molekul pensinyalan sel, dan sebagainya). Di mana molekul pensinyalan berperan penting agar mengenali patogen, kanker atau benda asing yang membahayakan sistem pertahanan tubuh namun tidak menyerang sel-sel normal.
  • Imunomodulasi sebagai bagian dari imunoterapi, di mana respons imun diinduksi, diperkuat, dilemahkan, atau dicegah sesuai dengan tujuan terapeutik.
  • Imunomodulasi mencakup semua intervensi terapeutik yang bertujuan untuk mengubah respons imun.

 Peningkatan respon imun diperlukan untuk mencegah infeksi pada keadaan imunodefisiensi, untuk melawan infeksi yang sudah ada dan untuk melawan kanker.  Dalam imunodefisiensi, pengobatan penyebabnya adalah yang paling penting (mis., Malnutrisi, HIV).  Cacat kekebalan tertentu jarang dapat diperbaiki, dan pembentukan sistem kekebalan baru dengan transplantasi sel induk alogenik harus dipertimbangkan.  Untuk mencegah infeksi, vaksinasi adalah teknik imunomodulator yang paling efektif.  Alat baru untuk memanipulasi respons terhadap vaksin melibatkan penggunaan sitokin, vektor virus, dan bahkan "DNA telanjang".  Untuk pengobatan infeksi yang sudah mapan, upaya untuk menggeser respon imun ke arah fenotipe tipe Th1 diinginkan.  Untuk pengobatan kanker, upaya difokuskan terutama pada menjadikan kanker sebagai target pilihan sistem kekebalan pasien.  Untuk efek ini, berbagai pendekatan telah digunakan, termasuk sitokin, anti-CTL-4, antibodi spesifik tumor dan terapi seluler menggunakan limfosit infiltrasi tumor dan bahkan transplantasi sel induk.  

Pada alergi, autoimunitas dan transplantasi organ tujuannya adalah untuk melemahkan respon imun.  Alergi tertentu dapat diobati dengan desensitisasi tertentu.  Dalam autoimunitas dan transplantasi, obat-obatan yang menumpulkan semua respon imun sering digunakan.  Berbagai obat dengan target berbeda digunakan sendiri dan dalam kombinasi untuk menginduksi imunosupresi.  Agen-agen ini mengganggu presentasi antigen (anti-CD 154, CTLA4-Ig), aktivasi sel-T (penghambat kalsineurin, termasuk siklosporin A dan takrolimus), atau proliferasi sel-T (sirolimus, mycophenolate mofetil, leflunomide).  Kortikosteroid bekerja pada beberapa tingkat respons imun dan juga memiliki sifat anti-inflamasi yang signifikan.  Obat-obatan ini diperlukan dalam transplantasi organ padat untuk mencegah penolakan, atau mengobatinya jika terjadi.  Ketika penolakan berlanjut meskipun telah menggunakan agen penekan imun, cangkok akan hilang dan diperlukan organ baru.  Dalam transplantasi sel punca, ekuivalen penolakannya adalah penyakit cangkok vs inang, suatu kondisi patologis di mana sistem kekebalan yang baru didapat mengenali penerima sebagai penerima sebagai benda asing dan meningkatkan respons imun terhadapnya.  Ketika penyakit graft vs host tidak merespon steroid, pilihan pengobatan sangat terbatas dan prognosisnya buruk.

G.4. IMUNOLOGI TUMOR

Peran penting sistem imun lainnya yaitu untuk menemukan dan menghancurkan tumor melalui mekanisme yang disebut pengawasan imun (immune surveillance). Sel tumor mengekspresikan antigen yang tidak ditemukan pada sel normal. Oleh sistem imun, antigen tersebut dianggap sebagai antigen asing dan keberadaannya mendorong sel imun untuk menyerang sel tumor tersebut. Antigen yang diekspresikan oleh tumor dapat berasal dari berbagai sumber, misal dari virus onkogenik seperti papillomavirus yang menyebabkan kanker leher rahim, sementara lainnya adalah protein organisme itu sendiri yang diekspresikan pada tingkat tinggi dibanding tingkat pada sel normal sehat. Salah satu contoh yaitu enzim tirosinase yang ketika diekspresikan pada tingkat tinggi, mengubah beberapa sel kulit (seperti melanosit) menjadi tumor yang disebut melanoma. Sumber antigen tumor yang ketiga adalah protein yang secara normal penting untuk mengatur pertumbuhan dan daya hidup sel, tetapi protein ini mengalami mutasi menjadi kanker dan lalu menimbulkan molekul-molekul yang disebut onkogen.

Respons utama sistem imun terhadap tumor yaitu untuk menghancurkan sel abnormal menggunakan sel T sitotoksik, kadang-kadang dengan bantuan sel T pembantu. Antigen tumor disajikan pada molekul MHC kelas I dengan cara yang serupa dengan antigen virus, sehingga sel T sitotoksik dapat mengenali sel tumor sebagai sel abnormal. Sel NK juga membunuh sel tumor dengan cara yang mirip, terutama jika sel tumor memiliki molekul MHC kelas I lebih sedikit pada permukaan daripada keadaan normal; hal ini merupakan fenomena umum pada tumor. Terkadang antibodi dihasilkan untuk melawan sel tumor dan menghancurkannya melalui kerja sama dengan sistem komplemen.

Makrofag memiliki peran ganda dalam karsinogenesis (proses perkembangan kanker). Peran tersebut yaitu dengan cara melawan aktivitas sitotoksik sel imun terhadap sel kanker atau dengan meningkatkan respons antitumor. Makrofag terkait tumor (tumor-associated macrophage, TAM) dapat menghasilkan sitokin dan faktor pertumbuhan seperti TNF-alfa yang dapat memelihara perkembangan tumor atau mendorong plastisitas sifat seperti sel punca. Sementara itu, sel tumor yang terus menerus terpapar keadaan hipoksia relatif ditambah dengan sitokin dan TNF-alfa menyebabkan turunnya produksi protein yang menghalangi metastasis sehingga mempercepat penyebaran sel kanker.

Beberapa tumor menghindari sistem imun dan terus berkembang sampai menjadi kanker. Sel tumor sering memiliki jumlah molekul MHC kelas I yang lebih rendah, sehingga dapat menghindari deteksi oleh sel T sitotoksik. Beberapa sel tumor juga mengeluarkan produk yang mencegah respons imun; contohnya dengan menyekresikan sitokin TGF-β, yang menekan aktivitas makrofag dan limfosit. Selain itu, toleransi imunologis dapat berkembang terhadap antigen tumor sehingga sistem imun tidak lagi menyerang sel tumor.

G.5. MEMORI IMUNOLOGI DAN VAKSINASI

Ketika limfosit telah aktif dan mulai melakukan replikasi, beberapa dari keturunan mereka menjadi sel memori berumur panjang. Sel memori akan mengingat setiap patogen yang pernah ditemui secara spesifik dan dapat melakukan respons lebih kuat jika patogen terdeteksi kembali. Hal ini disebut "adaptif" karena terjadi sepanjang hidup suatu individu dalam beradaptasi pada infeksi patogen dan menyiapkan sistem imun untuk tantangan berikutnya.

Lama waktu respons imun dimulai dengan pertemuan dengan patogen awal (atau vaksinansi awal), dan mendorong pembentukan dan penjagaan memori imunologi aktif.

Memori aktif jangka panjang didapat setelah terjadinya infeksi melalui proses pengaktifan sel B dan sel T. Imunitas aktif dapat juga dibuat melalui vaksinasi. Prinsip di balik vaksinasi (juga disebut imunisasi) yaitu untuk memperkenalkan antigen dari patogen untuk menstimulasi sistem imun dan mengembangkan imunitas spesifik melawan patogen tanpa menyebabkan penyakit yang berkaitan dengan organisme tersebut. Induksi respons imun yang disengaja ini berhasil karena memanfaatkan spesifisitas alami sistem imun. Penyakit infeksi masih menjadi salah satu penyebab utama kematian pada populasi manusia, sehingga vaksinasi muncul sebagai manipulasi sistem imun manusia yang paling efektif.

Kebanyakan vaksin virus berasal dari virus yang dilemahkan, sedangkan banyak vaksin bakteri berasal dari komponen aseluler dari mikroorganisme, termasuk komponen toksin yang tidak berbahaya. Karena banyak antigen berasal dari vaksin aseluler tidak menginduksi respons adaptf dengan kuat, maka kebanyakan vaksin bakteri disediakan dengan penambahan adjuvan yang mengaktifkan sel penyaji antigen pada sistem imun bawaan dan memaksimalkan imunogenisitas.

G.6. PREDIKSI IMUNOGENISITAS

Obat-obat berukuran besar (>500 Da) dapat memicu aksi penetralan oleh respons imun, terutama jika obat digunakan berulang-ulang atau pada dosis yang lebih besar. Hal ini membatasi obat-obat yang berbentuk peptida dan protein dengan ukuran besar (yang umumnya lebih besar dari 6000 Da). Pada beberapa kasus, obat tersebut tidak imunogenik, tetapi dapat diberikan bersamaan dengan senyawa imunogenik, seperti pada kasus paklitaksel ("Taxol") serta kombinasi oksaliplatin dan siklofosfamid.

Metode komputerisasi telah dikembangkan untuk memprediksi imunogenisitas peptida dan protein, yang berguna dalam merancang antibodi untuk obat, menilai keganasan mutasi pada partikel pembungkus virus, dan validasi pengobatan calon obat dengan bahan peptida. Teknik zaman awal memanfaatkan kecenderungan bahwa asam amino hidrofil memiliki konsentrasi lebih tinggi pada daerah epitop. Namun demikian, perkembangan-perkembangan terbaru lebih bersandar pada teknik pembelajaran mesin yang menggunakan basis data epitop yang diketahui ada (biasanya mengenai protein-protein virus yang sudah diteliti dengan baik) sebagai set pelatihan.

Basis data yang dapat diakses publik telah dibuat untuk mengatalogkan epitop dari patogen yang diketahui bisa dikenali oleh sel B. Penelitian berdasarkan bioinformatika terhadap imunogenisitas disebut juga imunoinformatika. Imunoproteomik merupakan studi kumpulan besar protein (proteomika) yang terlibat dalam respons imun.

H. EVALUASI DAN MEKANISME LAINNYA

Sistem imun adaptif dengan berbagai komponennya tampaknya muncul pada vertebrata pertama, sementara invertebrata tidak menghasilkan limfosit atau respons humoral berupa antibodi. Namun, banyak spesies yang memanfaatkan mekanisme-mekanisme yang agaknya merupakan pendahulu imunitas pada vertebrata. Sistem imun pun dimiliki oleh organisme yang paling sederhana, misalnya bakteri menggunakan mekanisme pertahanan unik yang disebut sistem modifikasi restriksi untuk melindungi diri dari patogen virus yang disebut bakteriofag.

Prokariota juga memiliki imunitas adaptif melalui sistem yang menggunakan urutan CRISPR untuk mempertahankan fragmen genom dari bakteriofag yang pernah ditemui sebelumnya, yang memungkinkan prokariota menghalangi replikasi virus melalui mekanisme sejenis interferensi RNA. Sistem imun yang bersifat menyerang juga terdapat pada eukariota uniseluler, tetapi belum banyak penelitian tentang peranan sistem tersebut dalam pertahanan.

Reseptor pengenal pola merupakan protein yang digunakan oleh hampir semua organisme untuk mengidentifikasi molekul yang terkait dengan patogen. Peptida antimikrobial yang disebut defensin adalah komponen evolusioner respons imun bawaan yang ditemukan pada semua jenis hewan dan tumbuhan, serta mewakili bentuk utama imunitas sistemik invertebrata. Sistem komplemen dan fagositik juga digunakan oleh hampir semua bentuk kehidupan invertebrata. Ribonuklease dan jalur interferensi RNA digunakan pada semua eukariot; keduanya diyakini memainkan peran pada respons imun terhadap virus.

Tidak seperti hewan, tumbuhan tidak memiliki sel fagositik, tetapi kebanyakan respons imun tumbuhan melibatkan sinyal kimia bersifat sistemik yang dikirim ke seluruh bagian tumbuhan. Sel-sel tumbuhan merespons molekul yang terkait dengan patogen yang dikenal sebagai pola molekuler terkait patogen (PAMP). Ketika bagian dari tumbuhan terinfeksi, tumbuhan menghasilkan respons hipersensitif, yaitu sel di tempat infeksi mengalami apoptosis dengan cepat untuk mencegah penyebaran penyakit ke bagian lainnya. Resistensi dapatan sistemik merupakan jenis respons pertahanan yang digunakan oleh tumbuhan agar resisten terhadap penyebab infeksi. Mekanisme peredaman RNA sangat penting pada sistem respons sistemik ini karena dapat menghalangi replikasi virus.

H.1. EVALUASI SISTEM IMUN

Sistem imun adaptif dengan berbagai komponennya tampaknya muncul pada vertebrata pertama, sementara invertebrata tidak menghasilkan limfosit atau respons humoral berupa antibodi. Namun, banyak spesies yang memanfaatkan mekanisme-mekanisme yang agaknya merupakan pendahulu imunitas pada vertebrata. Sistem imun pun dimiliki oleh organisme yang paling sederhana, misalnya bakteri menggunakan mekanisme pertahanan unik yang disebut sistem modifikasi restriksi untuk melindungi diri dari patogen virus yang disebut bakteriofag.

Prokariota juga memiliki imunitas adaptif melalui sistem yang menggunakan urutan CRISPR untuk mempertahankan fragmen genom dari bakteriofag yang pernah ditemui sebelumnya, yang memungkinkan prokariota menghalangi replikasi virus melalui mekanisme sejenis interferensi RNA. Sistem imun yang bersifat menyerang juga terdapat pada eukariota uniseluler, tetapi belum banyak penelitian tentang peranan sistem tersebut dalam pertahanan.

Reseptor pengenal pola merupakan protein yang digunakan oleh hampir semua organisme untuk mengidentifikasi molekul yang terkait dengan patogen. Peptida antimikrobial yang disebut defensin adalah komponen evolusioner respons imun bawaan yang ditemukan pada semua jenis hewan dan tumbuhan, serta mewakili bentuk utama imunitas sistemik invertebrata. Sistem komplemen dan fagositik juga digunakan oleh hampir semua bentuk kehidupan invertebrata. Ribonuklease dan jalur interferensi RNA digunakan pada semua eukariot; keduanya diyakini memainkan peran pada respons imun terhadap virus.

Tidak seperti hewan, tumbuhan tidak memiliki sel fagositik, tetapi kebanyakan respons imun tumbuhan melibatkan sinyal kimia bersifat sistemik yang dikirim ke seluruh bagian tumbuhan. Sel-sel tumbuhan merespons molekul yang terkait dengan patogen yang dikenal sebagai pola molekuler terkait patogen (PAMP). Ketika bagian dari tumbuhan terinfeksi, tumbuhan menghasilkan respons hipersensitif, yaitu sel di tempat infeksi mengalami apoptosis dengan cepat untuk mencegah penyebaran penyakit ke bagian lainnya. Resistensi dapatan sistemik merupakan jenis respons pertahanan yang digunakan oleh tumbuhan agar resisten terhadap penyebab infeksi. Mekanisme peredaman RNA sangat penting pada sistem respons sistemik ini karena dapat menghalangi replikasi virus.

H.2. IMUNITAS ADAPTIF ALTERNATIF

Evolusi sistem imun adaptif terjadi pada nenek moyang vertebrata berahang. Banyak molekul klasik pada sistem imun adaptif (seperti antibodi dan reseptor sel T) hanya dimiliki vertebrata berahang. Namun, molekul berbeda yang berasal dari limfosit ditemukan pada vertebrata tak berahang primitif, seperti ikan lamprey dan remang. Hewan tersebut memiliki sejumlah molekul disebut reseptor limfosit variabel, mirip reseptor antigen pada vertebrata berahang, yang dihasilkan dari segelintir gen (satu atau dua). Molekul tersebut dipercaya berikatan pada patogen dengan cara yang sama dengan antibodi dan dengan tingkat spesifisitas yang sama.

H.3. MANIPULASI OLEH PATOGEN

Keberhasilan patogen bergantung pada kemampuannya untuk menghindar dari respons imun. Karena itu, patogen telah mengembangkan beberapa metode yang menyebabkan mereka dapat menginfeksi inang, sementara patogen menghindari deteksi dan kehancuran akibat sistem imun. Bakteri sering menembus penghalang fisik dengan mengeluarkan enzim yang bisa menghancurkan penghalang tersebut, contohnya dengan menggunakan sistem sekresi tipe II. Selain itu, patogen dapat menggunakan sistem sekresi tipe III, yaitu mereka dapat memasukan tuba berongga pada sel inang, yang menyediakan saluran langsung untuk protein agar dapat bergerak dari patogen ke inang. Protein yang dikirim melalui tuba sering digunakan untuk membuat tidak aktif pertahanan tubuh.

Strategi menghindar digunakan oleh beberapa patogen untuk menghindari sistem imun bawaan yaitu bersembunyi dalam sel inang (juga disebut patogenesis intraseluler). Dalam hal ini, patogen menghabiskan sebagian besar siklus hidupnya dalam sel inang yang dilindungi dari kontak langsung dengan sel imun, antibodi, dan sistem komplemen. Beberapa contoh patogen intraseluler termasuk virus, bakteri Salmonella yang terdapat pada makanan beracun, dan parasit eukariot yang menyebabkan malaria (Plasmodium falciparum) dan leismaniasis (Leishmania spp.). Bakteri lain, seperti Mycobacterium tuberculosis, hidup di dalam kapsul pelindung yang mencegah lisis oleh sistem komplemen. Banyak patogen mengeluarkan senyawa yang melemahkan respons imun atau mengarahkan respons imun ke arah yang salah. Beberapa bakteri membentuk biofilm untuk melindungi diri mereka dari sel dan protein sistem imun. Biofilm dapat ditemui pada banyak infeksi, seperti infeksi Pseudomonas aeruginosa kronis dan Burkholderia cenocepacia, yang merupakan penanda dari infeksi fibrosis sistik. Bakteri lain menghasilkan protein permukaan yang mengikat pada antibodi, mengubah mereka menjadi tidak efektif, contohnya Streptococcus (protein G), Staphylococcus aureus (protein A), dan Peptostreptococcus magnus (protein L).

Mekanisme yang digunakan oleh virus untuk menghindari sistem imun adaptif adalah lebih rumit. Pendekatan paling sederhana yaitu dengan cepat mengubah epitop yang tidak esensial (asam amino dan gula) pada permukaannya, sementara terus menyembunyikan epitop esensial. Proses ini dinamakan variasi antigenik. Contohnya yaitu HIV, yang bermutasi dengan cepat, sehingga protein pada selubung virus yang esensial untuk masuk pada sel target secara terus menerus berubah. Perubahan tersebut bisa jadi adalah sebab gagalnya vaksin yang diarahkan pada virus tersebut. Parasit Trypanosoma brucei menggunakan strategi yang serupa, selalu mengubah protein permukaan sehingga selangkah lebih maju dari respons antibodi. Strategi lainnya, yaitu : menutup antigen dari molekul inang untuk menghindari deteksi oleh sistem imun. Pada HIV, selubung yang menutupi virion dibentuk dari membran paling luar dari sel inang, membuat sistem imun kesulitan untuk mengidentifikasikan mereka sebagai benda asing.

I. FUNGSI KEKEBALAN TUBUH DAN KEBUTUHAN MIKRONUTRIEN BERUBAH SELAMA PERJALANAN HIDUP

Seiring bertambahnya usia manusia, risiko dan tingkat keparahan infeksi bervariasi sejalan dengan kompetensi kekebalan menurut bagaimana sistem kekebalan berkembang, matang, dan menurun.  Beberapa faktor mempengaruhi sistem kekebalan dan kompetensinya, termasuk nutrisi.  Ada hubungan dua arah antara nutrisi, infeksi dan kekebalan: perubahan dalam satu komponen mempengaruhi yang lain.  Misalnya, ciri-ciri kekebalan yang berbeda yang ada selama setiap tahap kehidupan dapat mempengaruhi jenis, prevalensi, dan tingkat keparahan infeksi, sementara gizi buruk dapat mengganggu fungsi kekebalan dan meningkatkan risiko infeksi.  Berbagai mikronutrien penting untuk imunokompetensi, terutama vitamin A, C, D, E, B2, B6, dan B12, asam folat, zat besi, selenium, dan seng.  Kekurangan mikronutrien adalah masalah kesehatan masyarakat global yang diakui, dan status gizi yang buruk merupakan predisposisi infeksi tertentu.  Fungsi kekebalan dapat ditingkatkan dengan memulihkan mikronutrien yang kurang ke tingkat yang disarankan, sehingga meningkatkan ketahanan terhadap infeksi dan mendukung pemulihan yang lebih cepat saat terinfeksi.  Diet saja mungkin tidak mencukupi dan suplementasi mikronutrien yang disesuaikan berdasarkan kebutuhan terkait usia tertentu yang diperlukan.  Tinjauan ini melihat pada pertimbangan kekebalan khusus untuk setiap tahap kehidupan, risiko akibat infeksi, persyaratan dan defisiensi mikronutrien yang ditunjukkan selama perjalanan hidup, dan bukti yang tersedia mengenai efek suplementasi mikronutrien pada fungsi kekebalan dan infeksi.

I.1. PERKENALAN

Sistem kekebalan, yang terintegrasi ke dalam semua sistem fisiologis, melindungi tubuh dari infeksi dan serangan eksternal dan internal lainnya dengan memanfaatkan tiga lapisan berbeda, tergantung pada sifat ancaman : fisik (misalnya, kulit, lapisan epitel saluran cerna dan saluran pernapasan) dan penghalang biokimia (misalnya, sekresi, lendir, dan asam lambung), banyak sel kekebalan yang berbeda (misalnya, granulosit, sel T dan B CD4 atau CD8), dan antibodi (yaitu, imunoglobulin).  Garis pertahanan pertama adalah kekebalan bawaan, yang menggabungkan penghalang fisik dan biokimia dengan respons seluler non-spesifik yang dimediasi oleh leukosit untuk bertahan melawan patogen.  Jika patogen berhasil menghindari pertahanan bawaan ini, respons yang lebih kompleks, adaptif, dan spesifik antigen dipicu, dimediasi oleh limfosit T dan B, yang menghasilkan antibodi untuk menargetkan dan menghancurkan patogen (Gambar 1).  Kedua sistem juga melindungi dari sel asli yang mungkin berbahaya, seperti sel kanker atau prakanker.

Seiring bertambahnya usia manusia, sistem kekebalan berevolusi dari respons imun yang belum matang dan berkembang pada bayi dan anak-anak, hingga fungsi kekebalan yang berpotensi optimal pada remaja dan dewasa muda, diikuti dengan penurunan imunitas secara bertahap (terutama proses adaptif) pada orang tua.  Perubahan terkait usia diperparah oleh faktor gaya hidup tertentu (misalnya, pola makan, faktor lingkungan, dan stres oksidatif) yang spesifik untuk setiap tahap kehidupan yang dapat memengaruhi dan memodifikasi, dalam beberapa kasus menekan, fungsi kekebalan.  Dengan demikian, risiko dan tingkat keparahan infeksi seperti flu biasa dan influenza (penyakit paling umum pada manusia), pneumonia, dan infeksi diare juga bervariasi sepanjang hidup.


Gambar 1
Gambaran sederhana tentang sistem kekebalan.  Tiga lapisan sistem kekebalan (penghalang fisik dan biokimia; sel seperti monosit, granulosit, limfosit, dan sel B dan T; serta antibodi atau imunoglobulin) bekerja sama untuk melindungi tubuh dari patogen, memanfaatkan mekanisme pertahanan bawaan dan adaptif.  Ketiga lapisan tersebut terlibat dalam sistem bawaan dan kekebalan.  * Sistem kekebalan bawaan terdiri dari penghalang anatomis dan biokimia dan respons seluler tidak spesifik yang dimediasi terutama oleh monosit, neutrofil, sel pembunuh alami, dan sel dendritik;  ini bekerja sama untuk melawan patogen sebelum mereka dapat memulai infeksi aktif.  ** Sistem imun adaptif melibatkan respons spesifik antigen yang dimediasi oleh limfosit T dan B yang diaktifkan oleh paparan patogen;  ini bekerja dengan sistem kekebalan bawaan untuk mengurangi keparahan infeksi.  a Sistem komplemen dapat bekerja dengan sistem imun bawaan dan adaptif;  b yaitu, kekebalan dari antibodi serum yang diproduksi oleh sel plasma;  c yaitu, respons imun yang tidak melibatkan antibodi, tetapi merespons setiap sel yang menampilkan penanda major histocompatibility complex (MHC) yang menyimpang, seperti sel yang diserang oleh patogen.

Fungsi kekebalan yang optimal bergantung pada sistem kekebalan yang sehat.  Pada gilirannya, nutrisi yang cukup sangat penting untuk memastikan pasokan yang baik dari sumber energi, makronutrien dan mikronutrien yang diperlukan untuk pengembangan, pemeliharaan dan ekspresi respon imun.  Mikronutrien memiliki peran penting di seluruh sistem kekebalan yang tidak bergantung pada tahap kehidupan (Tabel 1), dan telah ditentukan bahwa yang paling dibutuhkan untuk mempertahankan imunokompetensi termasuk vitamin A, C, D, E, B2, B6 dan B12, asam folat,  beta karoten, besi, selenium, dan seng.  Terdapat interaksi dua arah antara nutrisi, infeksi dan imunitas: respon imun terganggu ketika nutrisi buruk, predisposisi individu terhadap infeksi, dan status nutrisi yang buruk dapat diperburuk oleh respon imun itu sendiri terhadap infeksi.  Jelas bahwa imunokompetensi yang optimal bergantung pada status gizi.  Diakui bahwa kekurangan mikronutrien dan asupan suboptimal umum terjadi di seluruh dunia, dan mikronutrien tertentu mungkin lebih mungkin tidak mencukupi pada berbagai tahap kehidupan.  Hal ini dapat mempengaruhi risiko dan tingkat keparahan infeksi, dan pada kenyataannya status gizi seseorang dapat memprediksi perjalanan klinis dan hasil dari infeksi tertentu seperti diare, pneumonia dan campak.  Resistensi terhadap infeksi dapat ditingkatkan dengan menambahkan kembali nutrisi yang kurang ke dalam makanan dan memulihkan fungsi kekebalan.  Akan tetapi, tidak selalu mungkin untuk mencapai status gizi yang baik melalui makanan saja.  Di negara berkembang, misalnya, mungkin sulit menemukan pasokan pangan yang memadai dan bervariasi.  Bahkan di negara-negara industri, di mana dapat dianggap bahwa makanan sehat dan bergizi lebih mudah diperoleh, latar belakang sosial, ekonomi, pendidikan, etnis dan budaya mempengaruhi makanan dan dapat mempengaruhi status mikronutrien individu.

Tabel 1. Gambaran umum peran kunci yang dimainkan oleh mikronutrien terpilih dalam sistem kekebalan 

Peran MikronutrienImunitas bawaanImunitas Adaptif
Vitamin CAntioksidan efektif yang melindungi terhadap ROS dan RNS dihasilkan ketika patogen dibunuh oleh sel imun.
Meregenerasi antioksidan penting lainnya seperti glutathione dan vitamin E ke keadaan aktifnya.
Mempromosikan sintesis kolagen, sehingga mendukung integritas penghalang epitel.
Merangsang produksi, fungsi dan pergerakan leukosit (misalnya, neutrofil, limfosit, fagosit).
Meningkatkan kadar serum protein komplemen. Memiliki peran dalam aktivitas antimikroba dan sel NK dan kemotaksis. Terlibat dalam apoptosis dan pembersihan neutrofil bekas dari tempat infeksi oleh makrofag.
Dapat meningkatkan kadar antibodi serum. Memiliki peran dalam diferensiasi dan proliferasi limfosit 
Vitamin DReseptor vitamin D diekspresikan dalam sel imun bawaan (misalnya, monosit, makrofag, sel dendritik). Meningkatkan diferensiasi monosit menjadi makrofag. Merangsang proliferasi sel kekebalan dan produksi sitokin serta membantu melindungi dari infeksi yang disebabkan oleh patogen 1,25-dihidroksivitamin D3, bentuk aktif vitamin D, mengatur protein antimikroba cathelicidin dan defensin, yang secara langsung dapat membunuh patogen, terutama bakteri.Terutama efek penghambatan pada imunitas adaptif;  misalnya, 1,25-dihidroksivitamin D3 menekan produksi antibodi oleh sel B dan menghambat proliferasi sel T.
Vitamin AMembantu menjaga integritas struktural dan fungsional sel mukosa di penghalang bawaan (misalnya, kulit, saluran pernapasan, dll.). Penting untuk fungsi normal sel imun bawaan (misalnya, sel NK, makrofag, neutrofil) Diperlukan untuk berfungsinya limfosit T dan B, dan dengan demikian untuk menghasilkan respons antibodi terhadap antigen. Terlibat dalam pengembangan dan diferensiasi sel Th1 dan Th2 dan mendukung respon anti-inflamasi Th2. 
Vitamin EAntioksidan penting yang larut dalam lemak. Melindungi integritas membran sel dari kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas. Meningkatkan produksi IL-2 dan aktivitas sitotoksik sel NK.Meningkatkan fungsi yang dimediasi sel T dan proliferasi limfosit. Mengoptimalkan dan meningkatkan Th1 dan menekan respon Th2.
Vitamin B6Membantu mengatur peradangan. Memiliki peran dalam produksi sitokin dan aktivitas sel NK.Diperlukan dalam sintesis endogen dan metabolisme asam amino, bahan penyusun sitokin dan antibodi. Berperan dalam proliferasi, diferensiasi, dan pematangan limfosit. Mempertahankan respons imun Th1. Berperan dalam produksi antibodi.
Vitamin B12Berperan dalam fungsi sel NKDapat berperan sebagai imunomodulator untuk imunitas seluler, terutama dengan efek pada sel sitotoksik (sel NK, sel CD8+ T). Memfasilitasi produksi limfosit T. Terlibat dalam imunitas humoral dan seluler dan metabolisme satu karbon (interaksi dengan folat).
FolatMempertahankan imunitas bawaan (sel NK).Berperan dalam imunitas yang diperantarai sel. Penting untuk respon antibodi yang cukup terhadap antigen. Mendukung respon imun yang dimediasi Th 1. 
Zinc (Seng)Efek Antioksidan melindungi terhadap ROS dan RNS. Membantu memodulasi pelepasan sitokin dan menginduksi proliferasi sel CD8+ T. Membantu menjaga integritas kulit dan membran mukosa.Peran sentral dalam pertumbuhan sel dan diferensiasi sel imun yang memiliki diferensiasi dan pergantian yang cepat. Penting untuk pengikatan intraseluler tirosin kinase ke reseptor sel T, diperlukan untuk pengembangan dan aktivasi limfosit T. Mendukung respon Th1.
Iron (Besi)Terlibat dalam regulasi produksi dan aksi sitokin. Membentuk radikal hidroksil yang sangat beracun, sehingga terlibat dalam proses pembunuhan bakteri oleh neutrofil. Penting dalam pembentukan ROS yang membunuh patogen.Penting dalam diferensiasi dan proliferasi limfosit T. Penting untuk diferensiasi dan pertumbuhan sel, komponen enzim penting untuk fungsi sel kekebalan (misalnya, ribonukleotida reduktase yang terlibat dalam sintesis DNA)
Copper (Tembaga)Pemulung radikal bebas. Sifat antimikroba. Terakumulasi di tempat peradangan, penting untuk produksi dan respons IL-2. Mungkin berperan dalam respon imun bawaan terhadap infeksi bakteri. Berperan dalam proliferasi sel T. Memiliki peran dalam produksi antibodi dan imunitas seluler.
SeleniumPenting untuk fungsi enzim yang bergantung pada selenium (selenoprotein) yang dapat bertindak sebagai regulator redoks dan antioksidan seluler, berpotensi melawan ROS. Selenoprotein penting untuk antioksidan sistem pertahanan host yang mempengaruhi leukosit dan fungsi sel NK.Terlibat dalam proliferasi limfosit T. Berperan dalam sistem humoral (misalnya, produksi imunoglobulin)

IL (interleukin);  NK (natural killer / pembunuh alami);  RNS (reactive nitrogen species / spesies nitrogen reaktif);  ROS (reactive oxygen species / spesies oksigen reaktif);  Th (helper T cell / sel T pembantu)

Kajian ini melihat kekebalan spesifik pada tahap kehidupan, risiko infeksi dan persyaratan mikronutrien, dari perspektif negara industri jika memungkinkan.  Tujuannya adalah untuk menyoroti peran suplementasi (pembuatan makanan suplemen) yang disesuaikan dalam memulihkan mikronutrien ke tingkat yang direkomendasikan dan mendukung kebutuhan kekebalan yang lebih baik yang spesifik untuk setiap tahap kehidupan.

I.2. SISTEM KEKEBALAN TUBUH

I.2.1.  BAYI DAN ANAK-ANAK

Sebelum lahir, bayi kekurangan paparan antigenik yang signifikan sehingga belum memperoleh memori imunologis dan imunitas adaptif mereka belum berkembang sepenuhnya.  Karena itu, perlindungan kekebalan dari patogen seperti bakteri dan virus segera setelah lahir bergantung pada dua metode pertahanan utama, kekebalan pasif dan kekebalan bawaan.  Imunitas pasif adalah tempat antibodi ibu (imunoglobulin spesifik antigen) dilewatkan melalui plasenta sebelum lahir, dan di kolostrum ibu dan susu setelah lahir.  Imunoglobulin (Ig) utama dalam ASI adalah IgA (yang memainkan peran penting dalam fungsi kekebalan pada permukaan mukosa), tetapi IgG (yang menyediakan sebagian besar kekebalan berbasis antibodi terhadap patogen yang menyerang) dan IgM (yang menghilangkan patogen di  tahap awal imunitas yang dimediasi sel B atau humoral sebelum ada cukup IgG) juga hadir dalam jumlah yang lebih kecil.  Kadar semua imunoglobulin dalam ASI menurun pada hari-hari setelah kelahiran, dan bayi serta anak-anak lebih rentan terhadap infeksi sampai mereka mampu memproduksi sendiri antibodi yang cukup.  ASI merupakan sumber sel dan senyawa yang kaya dengan sifat imunologi, tergantung pada tahap laktasi, dan dapat memfasilitasi perkembangan kekebalan dan pematangan pada bayi.  Ini termasuk leukosit (neutrofil, makrofag), sitokin, komplemen, dan asam lemak tak jenuh ganda rantai panjang, yang memiliki berbagai sifat antimikroba, toleransi / priming, pengembangan kekebalan, dan sifat anti-inflamasi.

Sistem kekebalan bawaan bayi sangat penting untuk mempertahankan diri dari patogen.  Sistem bawaan masih secara fungsional belum matang saat lahir, untuk memungkinkan janin mentolerir antigen ibu yang tidak berbagi, tetapi juga agar tidak terus-menerus dipicu oleh sejumlah besar stres dan pemodelan ulang yang terjadi selama perkembangan.  Sistem kekebalan bawaan neonatal terdiri dari populasi sel pelindung yang berbeda dibandingkan dengan orang dewasa, serta perbedaan kualitatif dalam respons oleh populasi sel bersama.  Misalnya, sel imun bawaan seperti monosit dan sel dendritik menghasilkan lebih sedikit bentuk bioaktif dari interleukin (IL) -12 dan interferon tipe 1 pada bayi baru lahir dibandingkan dengan orang dewasa, tetapi jumlah interleukin lain yang serupa atau lebih tinggi (misalnya, IL-6,  IL-10, dan IL-23) ketika dirangsang oleh patogen yang sama.  Sel neonatal juga kurang mampu menghasilkan banyak sitokin sebagai respons terhadap rangsangan patogen.  Konsentrasi sel NK paling rendah pada bayi dibandingkan dengan tahap kehidupan lainnya.  Selain itu, konsentrasi serum dari hampir semua komponen sistem komplemen yang bersirkulasi jauh lebih rendah (hingga 80%) pada bayi baru lahir dibandingkan pada orang dewasa, dengan aktivitas biologis yang berkurang.  Kadar meningkat setelah lahir, dengan beberapa faktor pelengkap mencapai konsentrasi orang dewasa dalam waktu satu bulan tetapi yang lain berkembang jauh lebih lambat.

Respon imun adaptif memang terjadi pada bayi baru lahir, tetapi lebih lambat dan condong ke arah reaksi T helper-2 (Th-2) melawan patogen ekstraseluler [24].  Setelah lahir, sel limfoid bawaan, yang merupakan regulator penting dari imunitas bawaan dan peradangan pada permukaan penghalang (misalnya, kulit, saluran pernapasan dan saluran pencernaan), secara tidak langsung memodulasi imunitas adaptif melalui interaksi dengan sel stroma di jaringan limfoid dan sel epitel pada permukaan penghalang.  Kontak dengan lingkungan yang tidak bersahabat mendorong sel-sel bawaan dan mukosa adaptif dan sistem kekebalan sistemik untuk menjadi dewasa dan berkembang, dan kompetensi imunologis bayi berkembang pesat selama beberapa bulan pertama kehidupan.  Pertahanan terhadap patogen intraseluler dan imunitas yang dimediasi sel bergantung pada respon Th-1, yang mencapai tingkat dewasa hanya setelah sekitar dua tahun.  Antigen mikroba sangat penting untuk pendidikan sistem kekebalan dan pengembangan respons tipe Th-1 dan kerusakan dalam pendidikan kekebalan tersebut dapat mempengaruhi penyakit alergi, inflamasi dan autoimun.

Ketika anak-anak tumbuh dan berkembang, sistem kekebalan mereka terus menjadi dewasa dan memperoleh memori setelah terpapar berbagai tantangan asing termasuk dari patogen, makanan dan komponen lingkungan lainnya dan vaksin.  Konsentrasi neutrofil meningkat pada anak-anak usia 1-6 tahun dibandingkan dengan bayi (tetapi masih hanya setengah dari tingkat dewasa), begitu pula konsentrasi eosinofil dan basofil (keduanya kemudian menurun seiring bertambahnya usia);  jumlah limfosit dan trombosit lebih rendah pada anak-anak dibandingkan dengan bayi dan terus menurun seiring bertambahnya usia.  Analisis lebih dekat dari subtipe limfosit menunjukkan bahwa proporsi subset limfosit yang berbeda berubah dari waktu ke waktu.  Misalnya, persentase sel CD3+ T (diperlukan untuk aktivasi sel CD4+ dan CD8+ T) secara signifikan lebih tinggi pada anak-anak dibandingkan pada bayi.  Namun, proporsi sel CD4+ T secara signifikan lebih rendah pada anak-anak dibandingkan pada bayi.  Sel T pembantu CD4+ mengenali peptida yang disajikan oleh molekul major histocompatibility complex (MHC) II yang ditemukan pada sel penyaji antigen, dan kemudian mengeluarkan sitokin yang memfasilitasi respons imun yang berbeda sesuai dengan sumber antigen.  Sebaliknya, persentase sel CD8+ T secara signifikan lebih tinggi pada anak-anak dibandingkan pada bayi dan terus meningkat seiring waktu.  Sel T sitotoksik CD8+ mengenali peptida yang disajikan oleh molekul MHC I yang ditemukan pada semua sel berinti, dan mengeluarkan sitokin seperti alfa faktor nekrosis tumor atau interferon gamma untuk membantu membunuh sel yang terinfeksi atau ganas.  Analisis sel B menunjukkan bahwa proporsi sel CD19+ tertinggi pada bayi dan anak-anak dan menurun secara signifikan setelahnya.  CD19 adalah antigen yang ada di semua sel B, terlibat dalam pensinyalan, dan merupakan biomarker untuk perkembangan limfosit B.  Produksi antibodi meningkat seiring bertambahnya usia dari bayi hingga masa kanak-kanak.  Misalnya, tingkat IgG orang dewasa (diekspresikan pada permukaan sel B dewasa, dan imunoglobulin paling umum dalam serum) dicapai pada usia 11-12 tahun, dengan peningkatan lebih lanjut selama masa pubertas, sedangkan tingkat IgA (yang kedua)  imunoglobulin yang paling umum dalam serum, yang dapat mengaktifkan jalur komplemen) terus meningkat setelah pubertas sampai mencapai tingkat dewasa;  sebaliknya, kadar IgM dewasa (imunoglobulin pertama yang dibuat oleh janin dan sel B perawan yang ditantang dengan antigen) tercapai pada usia empat tahun.

I.2.2.REMAJA DAN DEWASA

Setelah masa kanak-kanak, perubahan fisik terjadi pada jaringan limfoid, yang mendukung respons imun dan bertanggung jawab untuk memproduksi limfosit dan antibodi.  Misalnya, jaringan timus di timus (organ yang berperan penting dalam produksi dan pematangan sel T sebelum lahir dan selama masa kanak-kanak) secara bertahap digantikan oleh jaringan adiposa setelah pubertas dan memberi kesan lebih besar pada anak-anak dan menjadi lebih kecil setelah masa remaja.  Bagian fungsional dari kelenjar sangat berkurang (dikenal sebagai involusi), tetapi timus mengisi organ dan jaringan limfatik sekunder dengan sel T.  Sel T terus diproduksi di timus sepanjang hidup seseorang, meskipun pada tingkat yang jauh lebih kecil, tetapi diperkirakan bahwa orang dewasa bergantung pada kumpulan sel T naif yang diproduksi sebagian besar sebelum pubertas.  Ada penurunan progresif dalam persentase limfosit total dan jumlah absolut sel T dan B dalam darah dari bayi hingga dewasa.  Namun, ada peningkatan yang signifikan pada semua subset sel T (CD3+, CD4+, dan CD8+) pada orang dewasa dibandingkan dengan anak-anak, dan penurunan biomarker untuk perkembangan limfosit B, CD19.  Ada juga peningkatan yang signifikan dalam jumlah sel NK pada remaja dibandingkan dengan bayi dan anak-anak, serta pada orang dewasa dibandingkan dengan bayi (tetapi tidak pada anak-anak).

Perlu dicatat bahwa sistem kekebalan mencapai kematangan saat dewasa, dan sedikit penurunan atau peningkatan dalam penanda fungsi kekebalan yang dipilih mungkin tidak penting secara klinis setelah itu.  Secara umum, dewasa muda yang tidak hamil tampaknya diperlengkapi dengan baik untuk mengatasi tantangan kekebalan, yang mungkin mencerminkan potensi prokreasi dewasa muda dalam kelangsungan hidup spesies.  Namun, ada beberapa perbedaan spesifik jenis kelamin yang terlihat jelas dalam prevalensi penyakit tertentu.  Misalnya, gangguan autoimun seperti sindrom Sjogren, lupus eritematosus sistemik dan penyakit tiroid autoimun lebih tinggi pada wanita.  Respon imun inflamasi berbeda antara pria dan wanita, dengan wanita menghasilkan sitokin proinflamasi yang lebih tinggi dan respon kemokin terhadap virus influenza dan mengalami morbiditas dan mortalitas yang lebih besar daripada pria.  Wanita juga memulai respon imun humoral yang lebih tinggi terhadap vaksin influenza, dan mengalami lebih banyak reaksi merugikan dibandingkan pria.  Namun, peningkatan kekebalan pada wanita setelah vaksinasi mengarah pada perlindungan silang yang lebih besar terhadap virus influenza baru dibandingkan dengan pria.  Diperkirakan bahwa wanita biasanya meningkatkan respons imun yang lebih kuat daripada pria karena efek imunomodulator estrogen pada wanita dan efek penekanan imunitas humoral dari testosteron pada pria;  Namun, sejauh mana seks pada respon imun fungsional masih belum jelas.

I.2.3. ORANG YANG LEBIH TUA

 Seiring bertambahnya usia tubuh, begitu juga dengan sistem kekebalan dan kebanyakan orang tua di atas usia 60-65 tahun (meskipun tidak semua) mengalami beberapa disregulasi kekebalan yang membuat mereka kurang mampu menanggapi tantangan kekebalan.  Ada hilangnya jaringan limfoid, terutama di timus, dengan bertambahnya usia, dan kemampuan untuk merespon patogen, antigen dan mitogen menurun.  Perkembangan memori kekebalan jangka panjang juga terganggu, dengan respon yang berkurang terhadap vaksinasi.  Ini biasanya disebut sebagai imunosenescence, yang sebagian besar tampaknya mempengaruhi kekebalan adaptif tetapi juga sistem kekebalan bawaan pada tingkat yang lebih rendah.

Sel kekebalan terus diperbarui dari sel induk hematopoietik tetapi sel ini matang seiring bertambahnya usia dan menjadi kurang mampu menghasilkan limfosit;  selanjutnya, jumlah total jaringan hematopoietik menurun.  Hilangnya sel kekebalan dan penurunan jumlah limfosit yang bersirkulasi merupakan karakteristik dalam sistem kekebalan orang tua, konsisten dengan berkurangnya produksi sel T di timus yang berinvolusi, serta berkurangnya fungsi limfosit matang di jaringan limfoid sekunder.  Proporsi himpunan bagian sel T naif juga berubah seiring bertambahnya usia;  sebagai contoh, sel T sitotoksik CD3+ dan CD8+ menurun secara signifikan pada orang tua, tetapi sel T pembantu CD4+ meningkat dari masa remaja ke dewasa dan kemudian menjadi stabil pada orang tua, menunjukkan bahwa sel CD4+ tunduk pada mekanisme homeostatis yang lebih ketat mengingat pentingnya mereka dalam kekebalan  fungsi sistem.  Di sisi lain, sel T memori menumpuk, terutama sel CD8+ yang terdiferensiasi pada tahap akhir.  Sel CD19+ menurun secara signifikan dari masa kanak-kanak hingga usia tua.  Jumlah total sel B naif tetap tidak berubah dengan penuaan;  sebaliknya, ada penurunan sel B memori yang mungkin terjadi akibat defisiensi sel T.  Insiden penyakit autoimun juga meningkat di kemudian hari, karena sistem kekebalan yang menua menjadi tidak dapat sepenuhnya mentolerir antigen sendiri.  Limfopenia terkait usia dapat menyebabkan penurunan fungsi sel T regulator, peningkatan sel T dengan peningkatan afinitas terhadap diri atau neoantigen, peningkatan prevalensi autoantibodi, dan penurunan pembersihan sel apoptosis oleh makrofag.

Perubahan sistem imun bawaan juga terjadi seiring bertambahnya usia.  Kulit dan selaput lendir — garis pertahanan pertama melawan patogen yang menyerang — menjadi kurang efektif ketika penggantian sel kulit menurun dan terjadi atrofi dermal dan subkutan.  Setelah usia 60 tahun, terjadi penurunan IgA sekretori, yang merupakan bagian dari garis pertahanan pertama melawan patogen yang berhasil menyerang permukaan mukosa.  Pada orang tua, aktivitas fungsional sel kekebalan seperti fagosit dan semburan pernapasan intraseluler yang diperlukan untuk membunuh patogen berkurang.  Meskipun penuaan yang sehat tampaknya tidak mempengaruhi jumlah keseluruhan sel dendritik, yang bertanggung jawab untuk pengenalan dan fagositosis patogen, pemrosesan antigen, priming sel T naif dan pengaturan respons sel B dan NK, mereka  berkurang di area tertentu seperti sel Langerhans di kulit.  Namun, kemampuan mereka untuk mengenali patogen yang menyerang terganggu oleh reseptor seperti Toll yang dikompromikan pada sel dendritik, misalnya, yang diketahui terjadi pada penuaan.  Hal ini mengurangi kemampuan mereka untuk menginduksi produksi sitokin proinflamasi dan mengatur presentasi antigen ke sel T naif, dan untuk mengaktifkan respon imun adaptif antigen spesifik.  Jumlah sel NK meningkat secara signifikan pada orang tua dibandingkan dengan orang dewasa muda, yang mungkin merupakan hasil dari akumulasi sel NK yang berumur panjang.  Namun, tidak ada peningkatan sitotoksisitas yang menyertai, melainkan penurunan fungsi sel NK, termasuk resolusi respon inflamasi yang lebih lambat.

Faktanya, proses inflamasi yang lebih lama diinduksi pada orang dewasa yang lebih tua.  Peningkatan kadar sitokin pro-inflamasi yang bersirkulasi (misalnya, faktor alfa tumor-nekrosis, IL-1, dan IL-6) mencirikan peradangan kronis tingkat rendah pada orang tua, sebuah proses yang dikenal sebagai inflamasi-penuaan.  Penuaan inflamasi adalah respons fisiologis terhadap stres antigenik seumur hidup dan, jika dikendalikan oleh sitokin anti-inflamasi seperti IL-10 merupakan mekanisme pertahanan yang efisien pada orang tua.  Peningkatan produksi molekul anti-inflamasi merupakan proses kontra-regulasi penting dalam penuaan, karena inflamasi-penuaan sebaliknya akan merusak.  Banyak penyakit kronis paling umum yang terkait dengan penuaan, seperti aterosklerosis, penyakit Alzheimer, osteoporosis, dan diabetes, terkait dengan peradangan tingkat rendah.  Stres oksidatif juga memiliki peran dalam peradangan penuaan, menekankan peran stres oksidatif dalam mekanisme kompleks penuaan.  Sel kekebalan, yang mengandung persentase tinggi asam lemak tak jenuh ganda dalam membran plasma mereka dan rentan terhadap peroksidasi lipid, sangat sensitif terhadap perubahan keseimbangan oksidan-antioksidan.  Dengan demikian, kerusakan oksidatif dapat membahayakan integritas membran sel kekebalan dan mengubah transmisi sinyal baik di dalam maupun di antara sel kekebalan yang berbeda, yang menyebabkan gangguan respons imun.  Telah disarankan bahwa, pada orang tua, banyak penanda imun dari imunosenescence sebenarnya lebih terkait dengan paparan yang lama terhadap stimulasi antigen dan stres oksidatif yang melibatkan produksi spesies oksigen reaktif (ROS), daripada "penuaan" dari  sistem imun per se.  Misalnya, dalam populasi industri modern, efek kumulatif paparan antigenik mungkin lebih rendah daripada di masyarakat yang kurang higienis.  Satu individu mungkin mengalami faktor lingkungan yang berbeda pada tahapan kehidupan yang berbeda dibandingkan dengan yang lain, dan dengan demikian profil kekebalan mereka juga akan berbeda.  Beberapa orang tua menua tanpa masalah kesehatan yang besar, yang dikenal sebagai penuaan yang sehat, dan disfungsi sistem kekebalan tampaknya berkurang pada populasi ini.  Faktor genetik dan lingkungan (misalnya, status gizi yang baik) mungkin berperan, tetapi hal ini belum dijelaskan.  Mungkin satu-satunya perubahan yang berhubungan dengan usia yang benar-benar universal dalam penanda kekebalan adalah pengurangan jumlah dan proporsi sel T naif darah tepi, terutama karena involusi timus, yang mencerminkan penuaan sistem sel induk hematopoietik.

I.3. RESPON TERHADAP INFEKSI

Sifat respons sistem kekebalan terhadap patogen pada awalnya bergantung pada apakah pertahanan kekebalan bawaan dapat menghilangkan organisme penyebab infeksi. Jika tidak, pengalaman sebelumnya dengan patogen akan menentukan seberapa cepat sel T dan B dalam sistem kekebalan adaptif mampu memasang pertahanan melawannya, didukung oleh sistem kekebalan bawaan. Faktor-faktor tertentu dapat memengaruhi respons sistem kekebalan terhadap infeksi.

I.3.1. BAYI DAN ANAK-ANAK

Sistem kekebalan yang berkembang masih belum matang secara fungsional pada bayi dan anak kecil. Sistem kekebalan bawaan relatif rentan terhadap patogen, sedangkan sistem kekebalan adaptif kurang mampu merespon dengan cepat antigen yang bergantung pada sel-T, terutama pada bayi. Faktor-faktor ini, dikombinasikan dengan potensi yang lebih besar untuk terpapar patogen di taman kanak-kanak dan sekolah, berarti bahwa bayi dan anak kecil lebih rentan terhadap infeksi daripada remaja dan orang dewasa. Vaksinasi telah dikembangkan untuk memerangi infeksi yang umum tetapi berpotensi mematikan (misalnya, bakteri meningokokus, difteri, polio, pertusis, dll.), Diberikan sekitar delapan minggu setelah lahir (ketika kekebalan pasif mulai berkurang) dan sepanjang masa kanak-kanak.

Meskipun sebagian besar infeksi pada masa kanak-kanak terjadi hanya sekali (misalnya, cacar air, campak, dan gondongan), diikuti oleh perlindungan seumur hidup, banyak rhinovirus yang dapat menyebabkan flu biasa dan infeksi ulang sering terjadi. Misalnya, anak-anak yang berusia kurang dari satu tahun tercatat mengalami rata-rata enam kali pilek per tahun; frekuensi menurun dengan usia sekitar tiga pilek per tahun pada anak-anak yang lebih tua (10-14 tahun). Laki-laki lebih sering terkena daripada perempuan sebelum usia tiga tahun, sedangkan sebaliknya terjadi pada anak-anak yang lebih tua. Infeksi virus influenza musiman, yang disebabkan oleh jenis influenza yang berbeda setiap tahun, juga lebih sering terjadi pada anak di bawah usia lima tahun. Pada kelompok usia ini, gejala flu dapat menyebabkan penyakit parah, komplikasi bahkan kematian. Penyakit dan diare sering terjadi pada masa kanak-kanak, dengan banyak anak di negara industri mengalami lebih dari satu episode gastroenteritis infektif per tahun, biasanya disebabkan oleh rotavirus. Frekuensinya diperburuk oleh kontak dekat dengan anak-anak lain dan seringkali praktik higienis yang kurang optimal. Infeksi saluran pernapasan bagian bawah (misalnya, bronkitis dan pneumonia) lebih sering terjadi pada anak di bawah lima tahun daripada kelompok usia lain di seluruh dunia, dan faktor risiko termasuk polusi udara dan pemberian ASI yang kurang optimal. Defisiensi mikronutrien juga memiliki konsekuensi imunologis pada bayi dan anak kecil, dan dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas dari banyak penyakit, termasuk pneumonia, penyakit diare, dan campak. Infeksi dan kekurangan gizi memiliki hubungan yang sinergis, dan defisiensi mikronutrien menyebabkan gangguan imun spesifik yang mempengaruhi sistem imun bawaan dan adaptif, seperti gangguan fagosit dan aktivitas limfosit dengan defisiensi zinc, atau gangguan perkembangan neutrofil, makrofag, dan sel NK dengan defisiensi vitamin A.

3.2. REMAJA DAN DEWASA

Kematangan imunologis dicapai pada masa remaja, dan dewasa muda harus dibentengi dengan baik terhadap serangan patogen. Namun demikian, beberapa faktor yang berhubungan dengan gaya hidup mempengaruhi kompetensi kekebalan pada orang dewasa yang sehat dan meningkatkan risiko infeksi. Secara khusus, status gizi dapat dikompromikan dengan pola makan yang buruk, yang sering diamati pada orang dewasa dengan gaya hidup yang sibuk dan penuh tekanan dan akses yang siap ke makanan cepat saji atau makanan praktis yang padat energi dan miskin mikronutrien. Mikronutrien esensial seperti vitamin B12 mungkin kurang pada vegetarian dan vegan, sementara orang dewasa dalam keluarga berpenghasilan rendah mungkin tidak mampu membeli makanan segar dan bergizi. Sebagaimana diuraikan dalam Tabel 1, mikronutrien memiliki peran penting dalam sistem kekebalan dan asupan yang tidak memadai mungkin memiliki efek yang merusak. Pola makan yang buruk dapat dikombinasikan dengan gaya hidup yang tidak banyak bergerak, menyebabkan obesitas, respon imun yang kurang optimal, dan peningkatan risiko infeksi. Namun, olahraga yang berkepanjangan dan berlebihan serta latihan yang berlebihan juga dianggap mengganggu fungsi kekebalan. Namun, pandangan ini baru-baru ini diperdebatkan; sebaliknya, disarankan bahwa aktivitas fisik secara teratur mungkin bermanfaat untuk kesehatan imunologi dan membatasi atau menunda perubahan terkait usia pada komposisi seluler dari sistem imun adaptif (misalnya, dengan melawan perluasan sel T memori yang dapat menyebabkan inflamasi sistemik. ). Namun demikian, latihan berkepanjangan dan rejimen latihan berat pada orang dewasa dapat menciptakan ketidakseimbangan antara ROS dan pertahanan antioksidan, yang menyebabkan stres oksidatif yang mengubah transmisi sinyal dalam sistem kekebalan dan merusak respons kekebalan. Polusi dan asap rokok pasti mengganggu fungsi kekebalan, terutama bila dikombinasikan dengan gizi buruk. Spesies oksigen reaktif dalam, dan disebabkan oleh, polusi juga dapat mengganggu keseimbangan oksidan-antioksidan di dalam tubuh dan menyebabkan stres oksidatif, yang harus dilawan dengan pasokan antioksidan yang memadai. Stres psikologis kronis adalah faktor lain yang dapat memengaruhi fungsi kekebalan, menekan respons seluler dan humoral. Konsumsi alkohol memiliki efek variabel pada kekebalan; Minuman beralkohol kaya polifenol dalam jumlah sedang berpotensi memberikan perlindungan kekebalan sementara konsumsi alkohol berlebihan dapat menekan banyak aspek fungsi kekebalan dan akibatnya meningkatkan risiko infeksi. Tidur adalah pengatur homeostatis penting dari fungsi kekebalan dan memainkan peran khusus dalam memori imunologis. Gangguan tidur dan kekurangan karenanya cenderung memiliki efek buruk pada sistem kekebalan, termasuk disregulasi sel NK dan sitokin pro-inflamasi dan anti-inflamasi.

Faktor gaya hidup yang mempengaruhi fungsi kekebalan selama masa dewasa. Risiko infeksi juga dipengaruhi oleh jenis kelamin, program awal, riwayat vaksinasi, pajanan patogen, kondisi kesehatan tertentu, dan penyakit.

Faktor-faktor ini, secara tunggal atau kombinasi, melemahkan sistem kekebalan pada orang dewasa dan dapat meningkatkan risiko infeksi. Insiden flu biasa paling rendah pada remaja dibandingkan dengan semua kelompok usia lainnya, tetapi meningkat pada orang dewasa berusia 20-30 tahun; risikonya cenderung lebih besar pada mereka yang melakukan kontak dekat dengan anak-anak, yang berisiko tertinggi. Pilek biasa juga lebih mungkin terjadi pada mereka yang menderita stres psikologis, sementara latihan fisik sedang dapat menurunkan risiko. Infeksi virus influenza selain jenis musiman (mis., H1N1) lebih umum pada usia muda hingga paruh baya, orang dewasa yang sebelumnya sehat. Berbeda dengan anak-anak, penyakit dan diare pada orang dewasa sering disebabkan oleh norovirus dan campylobacter. Di seluruh dunia, norovirus menyebabkan 685 juta kasus gastroenteritis akut setiap tahun pada orang dewasa.

3.3. ORANG YANG LEBIH TUA

Pada orang tua, paparan antigen seumur hidup dan berbagai sumber stres oksidatif dapat menyebabkan disregulasi kekebalan yang membuat mereka lebih rentan terhadap infeksi daripada kelompok usia lain selain anak-anak.  Memori kekebalan bisa bertahan lama, memberikan perlindungan terhadap banyak infeksi selama beberapa dekade;  Namun, orang hidup lebih lama dari sebelumnya, dan kumpulan sel T antigen spesifik dapat berkurang seiring waktu.  Selain itu, involusi timus dan kekurangan relatif limfosit naif pada orang tua berarti bahwa mereka kurang mampu membangun pertahanan yang memadai terhadap neoantigen dan dengan demikian paparannya lebih berbahaya daripada pada orang yang lebih muda.

Meskipun infeksi tertentu lebih kecil kemungkinannya pada orang tua (misalnya, kejadian flu biasa telah terbukti paling rendah pada mereka yang berusia di atas 60 tahun), risiko banyak lainnya seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran pernapasan bagian bawah, infeksi kulit dan jaringan lunak, misalnya, sangat meningkat.  Selanjutnya, kelompok usia ini lebih mungkin untuk menderita infeksi yang berkepanjangan, gejala yang parah dan komplikasi sekunder.  Sekitar dua pertiga dari pasien yang lebih tua dengan flu biasa mengembangkan penyakit pernapasan bagian bawah, sementara orang yang lebih tua 2-10 kali lebih mungkin meninggal karena infeksi daripada orang yang lebih muda.  Pada mereka yang berusia 70 tahun atau lebih, 1,27 juta kematian diperkirakan disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan bagian bawah pada tahun 2015.  Infeksi virus influenza musiman biasanya terbesar pada orang tua dan anak-anak.  Meskipun influenza bukan penyakit yang mengancam jiwa pada kebanyakan orang dewasa, di negara industri, kematian terkait influenza paling sering terjadi pada orang berusia 65 tahun atau lebih.  Morbiditas dan mortalitas yang lebih besar yang terkait dengan influenza pada kelompok usia ini terjadi karena disregulasi dalam respon imun yang menjadi predisposisi mereka terhadap infeksi bakteri sekunder pada saluran pernapasan (misalnya, bronkitis dan pneumonia bakterial).  Perlindungan terhadap infeksi bergantung pada respons yang dimediasi sel-T dan setiap disregulasi dapat mengganggu kemampuan untuk meningkatkan respons sel-T, terutama jika ada juga infeksi dengan sitomegalovirus.  Ini adalah kasus pada banyak orang tua, dan faktor-faktor ini mungkin menjelaskan mengapa mereka memiliki tanggapan yang lebih buruk terhadap vaksin daripada orang muda.  Namun demikian, vaksinasi influenza dapat mengurangi penyakit parah dan komplikasi pada orang berusia 65 tahun atau lebih.

I.4. PERSYARATAN MIKRONUTRIEN DAN KEKURANGAN YANG DILAPORKAN 

Perkembangan, pemeliharaan dan fungsi opsional sel imun bergantung pada nutrisi yang memadai, terbukti pada semua tahap kehidupan. Peran imunomodulator kunci dari mikronutrien tertentu diuraikan dalam Tabel 1. Pertahanan kekebalan dapat dirusak oleh kekurangan gizi, yang meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Pada gilirannya, infeksi dapat menyebabkan peningkatan yang signifikan dalam permintaan mikronutrien, dipenuhi oleh pasokan endogen atau eksogen (yaitu, makanan). Vitamin A (dan beta karoten), C, D, B2, dan B12, asam folat, zat besi, seng dan selenium hanyalah beberapa mikronutrien yang memiliki efek imunomodulator dan / atau antioksidan dan dengan demikian mempengaruhi kerentanan inang terhadap penyakit menular, seperti serta perjalanan dan hasil infeksi.

I.4.1. BAYI DAN ANAK-ANAK

Pada bayi dan bayi, ASI merupakan pengaruh nutrisi utama dan diformulasikan untuk memastikan bahwa kebutuhan nutrisi terpenuhi. ASI mengandung berbagai komponen imunologi seperti antibodi (mis., IgA spesifik antigen), sitokin antiinflamasi dan faktor antimikroba lainnya, tetapi juga sebagian besar mikronutrien yang diperlukan untuk mendukung perkembangan neonatal, termasuk sistem imun. Konsentrasi mikronutrien tertentu dalam ASI (misalnya, kalsium, magnesium, dan tembaga) diatur oleh mekanisme homeostatis ibu (yaitu, tidak tergantung pada status gizi dan diet ibu) untuk memastikan mereka cukup untuk memenuhi kebutuhan bayi dan untuk melindungi mereka dari kekurangan atau kelebihan. Namun, ASI adalah sumber zat besi dan seng yang buruk dan kebutuhan anak tidak dapat dipenuhi dengan ASI saja untuk seng, atau lebih dari enam bulan untuk zat besi. Sebaliknya, ekskresi mikronutrien yang larut dalam lemak dan air (misalnya, vitamin A, dan vitamin B1, B2, B6, B12, dan C, masing-masing) ke dalam ASI bergantung pada asupan ibu dan bervariasi di seluruh dunia. Selain itu, kandungan vitamin D dalam ASI rendah dan biasanya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan bayi yang diberi ASI eksklusif jika paparan sinar matahari bayi dibatasi. Selama penyapihan dan tahun-tahun pertama kehidupan, vitamin A dan seng memainkan peran utama dalam kekebalan terhadap penyakit menular.

Anak-anak tidak membutuhkan mikronutrien dengan asupan yang sama seperti orang dewasa (Meja 2), dan jumlah yang lebih rendah cukup untuk memenuhi berbagai perannya di seluruh tubuh, termasuk dalam sistem kekebalan. Namun demikian, defisiensi mikronutrien lazim terjadi pada bayi dan anak-anak prasekolah di negara berkembang dan negara berpenghasilan rendah hingga menengah, dan kelompok usia ini berada pada risiko tertinggi mengalami defisiensi mikronutrien ganda. Di seluruh dunia, tiga kekurangan yang paling umum adalah untuk zat besi, vitamin A dan yodium, tetapi kekurangan seng juga umum . Pada anak kecil, terutama di negara industri, defisiensi dapat terjadi karena banyak zat gizi mikro (misalnya vitamin C dan vitamin B) ditemukan dalam buah-buahan dan sayuran berdaun hijau dan anak-anak sering rewel tentang apa yang mereka makan. Namun, hanya ada sedikit data tentang kadar mikronutrien pada bayi dari negara berpenghasilan tinggi. Data yang tersedia menunjukkan bahwa, bahkan di negara industri, beberapa bayi yang disusui mungkin tidak menerima jumlah yang optimal dari mikronutrien tertentu, karena kadar yang ditemukan dalam ASI, serum ibu atau urin tidak selalu mencapai tingkat yang direkomendasikan pada semua wanita. Defisiensi mikronutrien yang dilaporkan di Eropa dibandingkan dengan tunjangan diet yang direkomendasikan (RDA) ditunjukkan di Meja 2. Hal ini dapat dilihat dari nilai atas bahwa beberapa anak antara usia 4 dan 14 tahun memiliki kelebihan mikronutrien yang dimasukkan dalam tabel. Namun, rentang yang lebih rendah menunjukkan bahwa ada anak yang kekurangan asupan vitamin D (semua umur), vitamin A (perempuan 10+ tahun), vitamin E, folat, seng (10+ tahun), zat besi (semua umur) dan selenium (segala usia). Hanya asupan vitamin C, B6 dan B12 dan tembaga yang cukup dalam rentang usia ini.

Meja 2

Defisiensi mikronutrien spesifik pada tahap kehidupan di Eropa. Asupan mikronutrien yang dilaporkan di bawah tunjangan makanan yang direkomendasikan ditampilkan dalam huruf tebal. Tabel juga menunjukkan tingkat asupan atas yang dapat ditoleransi, tingkat asupan nutrisi harian tertinggi yang kemungkinan tidak menimbulkan risiko efek kesehatan yang merugikan pada kebanyakan orang.

Pilih MikronutrienTunjangan Diet yang Direkomendasikan [ 78 ]Level Asupan Atas yang Dapat Ditoleransi [ 78 ]Asupan Mikronutrien Rata-rata yang Dilaporkan, Min – Maks [ 96 ]
Anak - anak
4–8 tahun
9–13 tahun
14–18 tahun: M / F
Dewasa
19–50 tahun: M / F b
Usia tua
51 s / d> 70 tahun: M / F
Anak - anak
4–8 tahun
9–13 tahun
14–18 tahun
Dewasa
19–50 tahun: b
Usia lebih tua
51 s / d> 70 tahun
Anak-anak
4–6 tahun: P / F
7–9 tahun: L / F
10–14 tahun: L / P
15–18 tahun: M / F
Dewasa
19–50 tahun: M / F
Usia tua
51 s / d> 70 tahun: M / F
Vitamin C, mg / hari25
45
75/65
90/7590/75650
1200
1800/1800
2000200060–157 / 61–157
63–172 / 57–172
73–197 / 77–222
71–201 / 67–205
64–153 / 62–15359–142 / 60–160
Vitamin D, μg / hari151515–2075
100
100/100
1001001.8–5.8 / 1.5–6.5
1.5–6.4 / 1.5–5.1
1.5–4.8 / 1.2–4.5
1.8–7.5 / 1.5–7.1
1.6–10.9 / 1.2–10.10,7–15,0 / 0,7–12,9
Vitamin A, μg / hari400
600
900/700
900/700900/700900
1700
2800/2800
30003000400–1100 / 400–1200
400–1300 / 400–1100
400–2400 / 300–2300
400–1800 / 300–1600
500–2200 / 500–2000500–2500 / 400–2300
Vitamin E, mg / hari7
11
15
1515300
600
800
100010005.3–9.8 / 5.1–9.8
6.3–11.2 / 5.9–13.3
5.9–14.5 / 5.6–18.1
6.8–20.8 / 6.0–15.5
3.3–17.7 / 4.2–16.16.3–13.7 / 6.7–13.7
Vitamin B6, mg / hari0,6
1,0
1,3 / 1,2
1.31.7 / 1.540
60
80
1001001.3–1.8 / 1.0–1.9
1.2–2.5 /
1.1–1.9 1.2–2.8 / 1.1–2.7
1.5–3.1 / 1.2–2.5
1.6–3.5 / 1.3–2.11.2–3.0 / 1.2–2.9
Vitamin B12, μg / hari1.2
1.8
2.4
2.42.4NDNDND2.7–5.3 / 2.6–5.0
3.6–5.5 / 2.2–5.3
3.2–11.8 / 2.2–11.1
4.9–7.5 / 3.5–5.2
1.9–9.3 / 1.0–8.83.1–8.2 / 2.5–7.5
Folat, μg / hari200
300
400
300-400400400
600
800
10001000120–256 / 109–199
144–290 / 133–264
149–428 / 140–360
190–365 / 154–298
203–494 / 131–392139–343 / 121–335
Seng, mg / hari5
8
11/9
11/811/812
23
34
40406.0–9.2 / 5.3–8.9
7.0–10.9 / 6.4–9.4
7.0–14.6 / 6.1–13.9
9.3–15.2 / 6.4–11.0
8.6–14.6 / 6.7–10.77.5–12.3 / 6.7–11.2
Besi, mg / hari10
8
11/15
18/8840
40
45
45457.3–10.6 / 6.8–10.6
8.4–11.8 / 7.7–11.8
9.2–19.4 / 7.7–14.8
10.2–19.0 ​​/ 7.8–14.0
10.6–26.9 / 8.2–22.210.2–25.2 / 8.5–20.9
Tembaga, μg / hari440
700
890
9009003000
5000
8000
10.00010.000700–2200 / 700–2000
900–2800 / 800–2600
800–2900 / 700-2800
1200–3400 / 800–2100
1100–2300 / 1000–22001100–1900 / 900–1900
Selenium, μg / hari30
40
55
5555150
280
400
40040023–61
/ 24–61
27–41 / 26–58 29–110 / 28–104 39–59
/ 30–38
36–73 / 31–5439–62 / 34–55

a Meskipun nilai asupan yang memadai disediakan oleh Institute of Medicine untuk bayi (0-12 bulan) dan tunjangan makanan yang direkomendasikan untuk anak-anak (1-3 tahun), ada sedikit data mengenai defisiensi mikronutrien pada kelompok usia ini di negara-negara industri. dan karena itu usia ini tidak dimasukkan dalam tabel ini; nilai b berbeda pada kehamilan dan menyusui. F, perempuan; M, laki-laki; ND, tidak ditentukan.

I.4.2. REMAJA DAN DEWASA

Jumlah yang cukup dari semua mikronutrien diperlukan untuk fungsi kekebalan yang optimal pada remaja dan orang dewasa (dan sepanjang hidup), tetapi dalam jumlah yang lebih tinggi dibandingkan dengan bayi dan anak-anak (Meja 2). Sangat penting untuk memastikan bahwa tingkat antioksidan (misalnya, vitamin C, E, dan A) dan mikronutrien yang merupakan komponen enzim antioksidan (misalnya, seng, tembaga, besi, dan selenium) cukup untuk melawan stres oksidatif yang dipicu oleh banyak faktor gaya hidup yang umum dalam kelompok ini, dan yang berdampak besar pada fungsi kekebalan. Pasokan mikronutrien yang cukup yang mempengaruhi timus juga penting; misalnya, bahkan defisiensi seng marginal diketahui menyebabkan atrofi timus dan dapat meningkatkan risiko infeksi. Asupan vitamin D biasanya tidak mencukupi di sebagian besar kelompok usia di seluruh dunia, bahkan di negara dengan fortifikasi makanan wajib, yang dapat meningkatkan risiko infeksi, terutama infeksi saluran pernapasan.

Defisiensi mikronutrien telah dicatat pada remaja dan orang dewasa di Eropa (Meja 2). Kisaran yang lebih rendah menunjukkan bahwa beberapa remaja memiliki asupan vitamin C yang tidak mencukupi (laki-laki 15-18 tahun), vitamin D, vitamin A (laki-laki 15-18 tahun; perempuan 10-18 tahun), vitamin E, folat, seng (10– 18 tahun), zat besi dan selenium. Hanya asupan vitamin B6 dan B12 dan tembaga yang cukup dalam semua kasus. Pada orang dewasa, terdapat asupan makanan yang tidak mencukupi untuk semua zat gizi mikro yang ditunjukkan, selain vitamin B6 dan tembaga. Asupan folat, zat besi dan selenium pada wanita dewasa sangat rendah.

I.4.3. ORANG YANG LEBIH TUA

Meskipun tunjangan diet yang direkomendasikan untuk orang tua menunjukkan bahwa kebutuhan energi mereka lebih rendah daripada rekan mereka yang lebih muda, kebutuhan mikronutrien sebagian besar sama (Meja 2). Namun, defisiensi mikronutrien umum terjadi pada orang tua; telah diperkirakan bahwa 35% dari mereka yang berusia 50 tahun atau lebih di Eropa, AS dan Kanada memiliki defisiensi satu atau lebih mikronutrien yang dapat dibuktikan. Banyak orang tua memiliki kondisi kesehatan kronis yang membutuhkan rawat inap, tinggal di rumah perawatan, atau cenderung makan lebih sedikit dan membuat pilihan makanan yang berbeda (misalnya, memilih kepadatan nutrisi yang rendah, seringkali lebih murah, dan makanan). Asupan mikronutrien yang tidak mencukupi pada orang tua telah dilaporkan baik di komunitas (vitamin A, B12, D dan seng) dan pada prevalensi yang lebih tinggi di fasilitas perawatan jangka panjang (vitamin A, D, dan E), sementara asupan makanan yang lebih rendah telah dikaitkan dengan asupan kalsium, zat besi, seng, vitamin B dan vitamin E yang lebih rendah pada orang tua. Secara keseluruhan, data dari Eropa (Meja 2) menunjukkan bahwa ada asupan sebagian besar mikronutrien yang tidak mencukupi pada orang tua, selain vitamin B12, zat besi dan tembaga. Secara khusus, asupan rendah untuk vitamin D (wanita), vitamin E (pria dan wanita) dan folat (pria dan wanita). Wanita yang lebih tua, yang biasanya memiliki harapan hidup yang lebih lama dibandingkan dengan pria, seringkali berisiko lebih tinggi untuk kekurangan, terutama untuk vitamin B12, A, C, dan D, zat besi dan seng. Lebih lanjut, menopause mempengaruhi pemanfaatan mikronutrien; misalnya, vitamin C secara bertahap menurun seiring dengan kemajuan menopause, berkorelasi negatif dengan indeks massa tubuh. Seperti pada orang dewasa muda, pasokan antioksidan yang cukup (misalnya vitamin C, selenium, dan seng) diperlukan untuk memerangi stres oksidatif yang merupakan faktor utama disregulasi kekebalan pada orang tua. Namun, orang tua kehilangan kemampuannya untuk menghasilkan antioksidan endogen dibandingkan dengan orang dewasa yang lebih muda. Kulit orang dewasa yang lebih tua kurang mampu mensintesis vitamin D, dan sintesis sekitar 75% lebih lambat pada orang berusia 65 tahun dibandingkan pada orang dewasa muda.

I.5. DAMPAK KLINIS DARI DEFISIENSI DAN SUPLEMENTASI MIKRONUTRIEN

Asupan mikronutrien yang tidak memadai pada setiap tahap kehidupan mempengaruhi berbagai fungsi dalam sistem kekebalan, yang bermanifestasi dalam penurunan resistensi terhadap infeksi dan peningkatan keparahan gejala (Tabel 3). Misalnya, defisiensi seng dapat meningkatkan atrofi timus, menurunkan jumlah dan aktivitas limfosit, dan meningkatkan stres oksidatif dan peradangan dengan mengubah produksi sitokin. Akibatnya, risiko semua jenis infeksi (bakteri, virus, dan jamur), terutama diare dan pneumonia, meningkat. Status vitamin C yang rendah juga meningkatkan kerentanan terhadap infeksi seperti pneumonia, kemungkinan karena tingkat antioksidan yang rendah seperti vitamin C tidak dapat melawan stres oksidatif yang diamati pada pneumonia. Peningkatan produksi ROS selama respon imun terhadap patogen dapat menurunkan kadar vitamin C lebih lanjut. Kekurangan vitamin D meningkatkan risiko infeksi dan penyakit autoimun seperti multiple sclerosis dan diabetes, mungkin terkait dengan aktivitas reseptor vitamin D, yang ditemukan di seluruh sistem kekebalan.

Tabel 3

Dampak defisiensi mikronutrien dan suplementasi pada respons imun dan risiko infeksi.

MikronutrienDampak KekuranganDampak Suplementasi
Vitamin CPeningkatan kerusakan oksidatif 
Peningkatan insiden dan keparahan pneumonia dan infeksi lain 
Penurunan resistensi terhadap infeksi dan kanker, penurunan respon hipersensitivitas tipe tertunda, gangguan penyembuhan luka 
Sifat antioksidan melindungi leukosit dan limfosit dari stres oksidatif 
Lansia: kemungkinan pengurangan insiden dan durasi pneumonia 
Anak-anak: durasi berkurang dan keparahan gejala flu biasahasil yang lebih baik pada gejala pneumonia, malaria dan diare 
Vitamin DPeningkatan kerentanan terhadap infeksi, terutama RTI 
Peningkatan morbiditas dan mortalitas, peningkatan keparahan infeksi, penurunan jumlah limfosit, penurunan berat organ limfoid 
Peningkatan risiko penyakit autoimun (misalnya, diabetes tipe 1, multiple sclerosis, lupus eritematosus sistemik , rheumatoid arthritis) 
Mengurangi infeksi saluran pernapasan akut jika kurang 
Vitamin AMempengaruhi banyak fungsi kekebalan, termasuk jumlah dan aktivitas membunuh sel NK, fungsi neutrofil, kemampuan makrofag untuk fagosit patogen, pertumbuhan dan diferensiasi sel B, penurunan jumlah dan distribusi sel T, dll 
Peningkatan kerentanan terhadap infeksi (misalnya, diare, RTI, campak, malaria) 
Anak-anak: Mengurangi semua penyebab kematian, kejadian diare dan mortalitas, dan kejadian campak dan morbiditas pada anak-anak yang kekurangan (6 bulan sampai 5 tahun)penurunan risiko morbiditas dan mortalitas dari penyakit menular 
Tidak bermanfaat pada pneumonia 
Vitamin E.Defisiensi jarang terjadi pada manusia 
Merusak aspek imunitas adaptif yang dimediasi oleh sel dan humoral, termasuk fungsi sel B dan T 
Lansia: berkurangnya RTI 
Vitamin B6Limfositopenia, mengurangi berat jaringan limfoid, mengurangi respons terhadap mitogen, defisiensi umum dalam imunitas yang dimediasi sel, menurunkan respons antibodi 
Vitamin B12Respon imun tertekan (misalnya, respon hipersensitivitas tipe tertunda, proliferasi sel T) *
FolatRespon imun tertekan (misalnya, respon hipersensitivitas tipe tertunda, proliferasi sel T) *
SengPenurunan jumlah dan fungsi limfosit, terutama sel T, peningkatan atrofi timus, perubahan produksi sitokin yang berkontribusi terhadap stres oksidatif dan peradangan 
Meningkatnya infeksi bakteri, virus dan jamur (terutama diare dan pneumonia) [serta morbiditas diare dan pernapasan
meningkatan atrofi timus dan risiko infeksi 
Pemulihan aktivitas timulin, peningkatan jumlah sel T sitotoksik, pengurangan jumlah sel T helper yang diaktifkan (yang dapat berkontribusi pada autoimunitas), peningkatan sitotoksisitas sel pembunuh alami, pengurangan insiden infeksi 
Anak-anak: pengurangan durasi diare dan insiden pneumonia pada anak berisiko> 6 bulan, tetapi tidak pada anak 2-6 bulanmengurangi durasi dan keparahan gejala flu biasa hasil yang lebih baik pada gejala pneumonia, malaria dan diare 
BesiBerkurangnya kapasitas untuk respon imun yang adekuat (penurunan respon hipersensitivitas tipe tertunda, respon mitogen, aktivitas sel NK), penurunan aktivitas bakterisida limfosit, penurunan level interleukin-6 Dapat meningkatkan atau melindungi dari infeksi bakteri, virus, jamur dan protozoa tergantung pada tingkat zat besi  Secara
teoritis dapat meningkatkan kekebalan terhadap penyakit menular, tetapi suplementasi yang tidak tepat sasaran dapat meningkatkan ketersediaan zat besi untuk pertumbuhan patogen dan virulensi serta meningkatkan kerentanan terhadap malaria dan sepsis bakteri khususnya 
Anak-anak: potensi efek merugikan pada anak-anak yang penuh zat besi 
TembagaTingkat neutrofil yang sangat rendah 
Berpotensi meningkatkan kerentanan terhadap infeksi 
Anak-anak: peningkatan kemampuan sel darah putih tertentu untuk menelan patogen jika kekurangan
Penurunan produksi antibodi sebagai respons terhadap vaksin influenza dengan dosis tinggi kronis pada pria muda yang sehat 
SeleniumGangguan imunitas humoral dan seluler 
Peningkatan virulensi virus
Penekanan fungsi kekebalan, peningkatan insiden kanker dan kardiomiopati dengan defisiensi kronis 
Anak-anak: peningkatan risiko infeksi pernapasan dalam 6 minggu pertama kehidupan 
Meningkatkan imunitas yang dimediasi sel dan meningkatkan respon imun terhadap virus pada individu yang kekurangan, tetapi dapat memperburuk asma alergi dan mengganggu respon imun terhadap parasit 

* Efek sistem kekebalan dari defisiensi vitamin B12 dan defisiensi folat secara klinis tidak dapat dibedakanRTI, infeksi saluran pernafasan.

Mempertimbangkan pentingnya mikronutrien dalam kekebalan, dan fakta bahwa banyak orang dari segala usia memiliki kekurangan mikronutrien tunggal atau ganda yang dapat memiliki efek imunologis yang merugikan, ada alasan untuk suplementasi mikronutrien untuk mengembalikan konsentrasi ke tingkat yang direkomendasikan, terutama setelah infeksi, dan untuk mendukung fungsi dan pemeliharaan kekebalan. Untuk menghindari efek samping yang tidak diinginkan, tentu saja penting untuk memastikan bahwa suplementasi tidak melebihi tingkat asupan atas yang dapat ditoleransi (Meja 2), tingkat asupan nutrisi harian tertinggi yang kemungkinan tidak menimbulkan risiko efek kesehatan yang merugikan pada kebanyakan orang . Meskipun secara teoritis mungkin, data asupan mikronutrien yang dilaporkan dalam format Meja 2 menunjukkan bahwa suplementasi berlebihan tidak mungkin terjadi pada sebagian besar mikronutrien, mungkin dengan pengecualian vitamin A pada anak-anak. Perlu dicatat bahwa margin keamanan dalam suplemen mikronutrien memastikan bahwa konsumsi yang tepat tidak mengakibatkan suplementasi berlebihan, dan label suplemen makanan harus dibaca dengan cermat untuk menghindari penyalahgunaan dan potensi suplementasi berlebihan.

Karena tidak ada biomarker tunggal yang secara akurat mencerminkan efek suplementasi pada respon imun, hasil klinis malah digunakan untuk menentukan efektivitas suplementasi.

I.5.1. BAYI DAN ANAK-ANAK

Defisiensi mikronutrien terkait erat dengan penyakit menular yang dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang substansial pada bayi dan anak-anak. Di seluruh dunia, studi suplementasi mikronutrien telah melihat efek vitamin D, A dan E dan mineral seperti besi, selenium dan seng. Suplementasi zinc mengurangi morbiditas dan mortalitas dari penyakit menular pada bayi dan anak-anak di negara berkembang. Pada bayi berat lahir rendah, suplemen zinc sebagian dapat memulihkan imunitas yang dimediasi oleh sel. Seng juga dapat mengurangi risiko dan durasi pneumonia pada anak-anak, membantu mengelola diare pada masa kanak-kanak, menyebabkan lebih sedikit episode malaria, dan mengurangi durasi diare. Pada anak-anak dengan defisiensi vitamin A, suplementasi dapat menurunkan risiko morbiditas dan mortalitas dari penyakit menular. Durasi dan keparahan gejala flu biasa dapat dikurangi dengan suplementasi zinc pada anak-anak ketika dikonsumsi dalam waktu 24 jam setelah onset gejala. Hasil serupa telah diamati dengan vitamin C, yang memperpendek durasi pilek pada anak-anak (terutama dengan dosis yang lebih tinggi) dan mengurangi keparahan gejala; efek yang lebih besar diamati pada anak-anak dibandingkan dengan orang dewasa, termasuk efek profilaksis yang lebih besar dari vitamin C. Seng dan vitamin C juga dapat meningkatkan hasil dari pneumonia, malaria dan infeksi diare pada anak-anak, dan mengurangi kejadian diare dan campak.

I.5.2. REMAJA DAN DEWASA

Suplementasi dengan vitamin C mengurangi durasi dan keparahan gejala flu biasa pada orang dewasa. Pada mereka yang mengalami stres fisik (misalnya, di tempat kerja, selama olahraga, dan di bawah suhu ekstrim), atau dalam kasus di mana kadar vitamin C sedikit di bawah tingkat yang disarankan, suplementasi vitamin C mengurangi kejadian flu biasa. Sebagai contoh, pada pria muda dengan kekurangan vitamin C marginal, suplementasi terbukti mengurangi kejadian flu biasa dan durasi gejala flu dibandingkan dengan plasebo, disertai dengan peningkatan tingkat aktivitas. Ketika digunakan dalam kombinasi dengan seng, suplementasi vitamin C dapat meredakan gejala seperti rinore pada flu biasa, yang umumnya dianggap sebagai gejala infeksi yang paling sering dan menyusahkan (bersama dengan hidung tersumbat). Suplementasi dengan vitamin D dapat melindungi dari infeksi saluran pernafasan dan mengurangi resiko penyakit pernafasan akut dan influenza, terutama dengan dosis sekali sehari. Manfaat sangat jelas terlihat pada mereka yang sangat kekurangan vitamin D. Mengingat efek positifnya pada infeksi saluran pernapasan, telah disarankan bahwa ada alasan yang baik untuk menggabungkan vitamin C dan D dengan seng untuk mendukung fungsi kekebalan dan membantu meminimalkan risiko infeksi. Suplementasi dengan beberapa mikronutrien memiliki efek menguntungkan pada gejala yang terkait dengan apa yang disebut "sindrom gedung sakit", terkait dengan kontak lama dengan faktor lingkungan yang bertindak sebagai kendaraan untuk polutan. Secara signifikan lebih sedikit orang dewasa yang menerima suplemen mikronutrien melaporkan sakit kepala, sakit mata, hidung tersumbat, radang tenggorokan, kelelahan / nyeri, diare atau gejala yang berhubungan dengan infeksi saluran pernapasan akut, seperti batuk.

I.5.3. ORANG YANG LEBIH TUA

Imunitas yang terganggu pada orang tua, sering disebabkan oleh defisiensi mikronutrien multipel, terbukti dalam peningkatan insiden dan keparahan infeksi umum yang mempengaruhi saluran pernapasan atas dan bawah, serta saluran kemih dan genital. Suplementasi dengan jumlah sederhana dari kombinasi mikronutrien dapat memiliki efek menguntungkan. Tingkat sel CD4 + dan CD8 + T yang lebih tinggi dan peningkatan respon proliferasi limfosit terhadap mitogen telah diamati dengan suplementasi vitamin A, C dan E, sementara suplementasi mikronutrien dengan tingkat vitamin C, E dan beta-karoten yang lebih tinggi meningkatkan jumlah berbagai subset sel T, meningkatkan respons limfosit terhadap mitogen, meningkatkan produksi IL-2 dan aktivitas sel NK, meningkatkan respons terhadap vaksin virus influenza, dan menyebabkan lebih sedikit hari infeksi. Suplementasi dengan formulasi mikronutrien kompleks pada orang tua meningkatkan jumlah berbagai jenis sel kekebalan, termasuk limfosit total, dan menyebabkan pergeseran dari sel T memori ke sel T naif. Suplementasi multi mikronutrien pada orang tua juga dapat mengurangi penggunaan antibiotik dan menyebabkan respon imun pasca vaksinasi yang lebih tinggi.

Kekurangan seng marjinal umum terjadi pada orang tua, karena asupan makanan mereka umumnya lebih rendah dan konsentrasi seng plasma menurun seiring bertambahnya usia, mungkin terkait dengan gangguan penyerapan, perubahan pengambilan sel, dan disregulasi epigenetik metilasi DNA atau jalur metionin / transsulfurasi, misalnya. Suplementasi dengan dosis rendah hingga sedang seng pada orang tua yang sehat dapat membantu memulihkan aktivitas timulin, meningkatkan jumlah sel T sitotoksik, mengurangi jumlah sel Th yang diaktifkan (yang berkontribusi pada autoimunitas) dan meningkatkan sitotoksisitas sel NK , manfaat imunologi yang membantu mengurangi kejadian infeksi seperti flu biasa, luka dingin dan influenza, serta insiden dan morbiditas pneumonia. Ada beberapa laporan bahwa pasokan seng yang cukup dapat mencegah penyakit terkait usia degeneratif termasuk infeksi dan kanker. Vitamin C yang cukup juga penting pada orang tua, yang berisiko kekurangan vitamin C, terutama wanita. Asupan vitamin C yang cukup dapat mengoptimalkan tingkat sel dan jaringan dan membantu melindungi dari infeksi pernapasan dan sistemik (misalnya, mengurangi durasi dan keparahan pneumonia), sedangkan tingkat yang lebih tinggi diperlukan selama infeksi untuk mengimbangi peningkatan respons inflamasi dan kebutuhan metabolik disebabkan oleh patogen, dan dengan demikian membantu mengurangi durasi dan keparahan gejala. Suplementasi dengan vitamin E pada orang tua telah terbukti secara signifikan meningkatkan aktivitas sitotoksik NK, kemotaksis neutrofil dan respon fagositik, dan meningkatkan proliferasi limfosit yang diinduksi mitogen dan produksi IL-2. Vitamin E juga dapat meningkatkan imunitas yang dimediasi oleh sel-T dan meningkatkan produksi antibodi sebagai respons terhadap vaksin hepatitis B dan tetanus. Risiko infeksi saluran pernapasan bagian atas, terutama flu biasa, secara signifikan lebih rendah setelah suplementasi vitamin E pada penghuni panti jompo, meskipun tidak ada efek yang jelas pada infeksi saluran pernapasan bagian bawah. Namun, tidak semua penelitian melaporkan efek menguntungkan pada infeksi saluran pernapasan dengan suplementasi vitamin E pada orang tua.

I.6. KESIMPULAN

Sistem kekebalan mengalami banyak perubahan selama perjalanan hidup — berkembang dan menjadi dewasa selama masa kanak-kanak, berpotensi mencapai fungsi puncak pada awal masa dewasa, dan secara bertahap menurun pada kebanyakan orang di usia tua (sebagaimana gambar di bawah ). Ciri-ciri kekebalan yang berbeda hadir selama setiap tahap kehidupan, dan faktor-faktor spesifik secara berbeda memengaruhi fungsi kekebalan, dengan perbedaan yang dihasilkan dalam jenis, prevalensi, dan tingkat keparahan infeksi seiring bertambahnya usia. Faktor umum sepanjang hidup adalah kebutuhan akan pasokan mikronutrien yang cukup, yang memainkan peran kunci dalam mendukung fungsi kekebalan. Defisiensi mikronutrien multipel umum terjadi di seluruh dunia, dengan kemungkinan meningkat seiring bertambahnya usia. Suplementasi yang disesuaikan berdasarkan kebutuhan spesifik setiap kelompok usia dapat membantu memberikan dasar yang memadai untuk fungsi kekebalan yang optimal. Data klinis yang tersedia menunjukkan bahwa suplementasi mikronutrien dapat mengurangi risiko dan keparahan infeksi dan mendukung pemulihan yang lebih cepat. Namun,lebih banyak penelitian diperlukan tentang efek suplementasi mikronutrien pada fungsi kekebalan dan hasil klinis. Namun demikian, pengetahuan saat ini mengenai pentingnya mikronutrien dalam kekebalan, efek defisiensi mikronutrien pada risiko dan keparahan infeksi, dan prevalensi status mikronutrien yang tidak memadai di seluruh dunia membentuk dasar yang kuat untuk penggunaan suplemen multi mikronutrien yang ditargetkan untuk mendukung kekebalan. selama hidup seseorang.dan prevalensi di seluruh dunia dari status mikronutrien yang tidak memadai membentuk dasar yang kuat untuk penggunaan suplemen multi mikronutrien yang ditargetkan untuk mendukung kekebalan selama hidup seseorang.dan prevalensi di seluruh dunia dari status mikronutrien yang tidak memadai membentuk dasar yang kuat untuk penggunaan suplemen multi mikronutrien yang ditargetkan untuk mendukung kekebalan selama hidup seseorang.

Perbedaan imunitas dan nutrisi seumur hidup. Ca, kalsium; Cu, tembaga; Fe, besi; I, yodium; Ig, imunoglobulin; Mg, magnesium; NK, pembunuh alami; RTI, infeksi saluran pernapasan; Se, selenium; Th, sel pembantu T; Zn, seng.



Tidak ada komentar:

PETA SITUS (SITE MAPS) Info Kesehatan

Perhatian : Informasi ini bukanlah resep atau nasihat medis. Situs / Blog ini bukan pengganti dokter. Jika Anda perlu bantuan atau hendak be...